GELORA.ME - PENYANYI Yovie Widianto ditunjuk menjadi salah satu komisaris Badan Usaha Milik Negara atau BUMN, PT Pupuk Indonesia (Persero).
Keputusan itu diambil melalui Rapat Umum Pemegang Saham atau RUPS yang digelar pada Senin, 16 Juni 2025.
Kursi komisaris yang diberikan kepada Yovie menjadi jabatannya kedua setelah ditunjuk Presiden Prabowo Subianto sebagai Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi Kreatif.
Yovie tak sendiri diberi jabatan di PT Pupuk Indonesia, ada Wakil Menteri Pertanian Sudaryono yang ditunjuk sebagai komisaris utama.
Lalu Wakil Menteri Ketanaga Kerjaan Immanuel Ebenezer Gerungang alias Noel juga dapat jatah komisaris.
Jabatan komisaris yang diberikan kepada ketiganya menambah daftar wakil menteri dan jajaran Kabinet Merah Putih yang rangkap jabatan.
Sebelumnya tercatat terdapat 25 wakil menteri Prabowo yang rangkap jabatan komisaris dan menduduki posisi stategis di sejumlah perusahaan BUMN.
Sebut saja nama Wakil Menteri Kebudayaan Giring Ganesha Djumaryo yang ditunjuk sebagai komisaris PT Garuda Maintenance Facility Aero Asia Tbk (GMFI).
Kemudian Wakil Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal Ahmad Riza Patria sebagai komisaris Telkomsel.
Wakil Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman, Fahri Hamzah menjadi komisaris di PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk atau BTN.
Kemudian, Wakil Menteri Komunikasi dan Digital Angga Raka Prabowo menjadi komisaris utama di PT Telkom Indonesia.
Wakil Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan, Silmy Karim yang juga komisaris PT Telkom Indonesia.
Konflik kepentingan
Peneliti Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda mengkritisi rangkap jabatan jajaran kabinet Prabowo-Gibran.
Kata dia, penunjukan komisaris atau direksi di badan usaha milik negara seharusnya menjunjung tinggi kapabilitas dan kapasitas individu.
"BUMN merupakan badan usaha milik rakyat, bukan milik rezim. Sudah seharusnya penunjukan direksi maupun komisaris harus melalui seleksi kualitas individu untuk menjaga kualitas BUMN-nya sendiri," kata Huda, Rabu, 18 Juni 2025.
Dia menegaskan penunjukan jabatan di BUMN harus mengedepankan kualitas dan latar belakang individu, akan berdampak terhadap pengelolaan badan usaha.
Potensi yang timbul pengelolaan akan sangat tidak profesional dan jauh dari kata good corporate governance (GCG).
"Penunjukan individu menjadi komisaris harus dilihat latar belakangnya. Jangan sampai seorang musisi harus terjun mengawasi perusahaan yang bergerak di bidang pertanian," ujar Huda.
Dalam Pasal 23 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara mengatur secara tegas menteri rangkap jabatan di badan usaha milik negara atau swasta.
Memang dalam aturan itu tidak mengatur secara eksplisit soal wakil menteri dan setingkatnya.
Namun, kata Huda, selevel menteri saja dilarang, apalagi dengan wakil menteri.
Rangkap jabatan wakil menteri berpotensi menimbulkan konflik kepentingan yang melibatkan regulator dan operator.
Kementerian atau lembaga sebagai regulator harusnya berada di luar badan usaha negara yang menjadi operator demi menjaga independensi.
Bisa dibayangkan, Sudaryono selaku wakil menteri pertanian adalah regulator tapi secara bersamaan ia juga komisaris utama PT Pupuk Indonesia yang perannya adalah operator.
"Tidak kah lucu nanti Kementerian Pertanian harus memanggil komisaris utama PT Pupuk Indonesia--yang notabene adalah wakil menteri pertanian. Bisa apa pejabat eselon satu sampai empat menghadapi hal itu?" tutur Huda.
Rangkap jabatan, lanjut Huda, akan mengurangi integritas para pejabat publik dalam mengambil keputusan dan kebijakan.
Pengambilan keputusan berpotensi tidak lagi didasari demi kepentingan publik, melainkan kepentingan perusahaan.
Di satu sisi, fenomena wakil menteri rangkap jabatan juga tidak menunjukkan sensitivitas terhadap masyarakat.
Di tengah sulitnya lowongan kerja dan tingginya angka pemutusan hubungan kerja (PHK), para pejabat tinggi justru memamerkan bagi-bagi kue kekuasaan.
Terlebih mereka yang ditunjuk seperti Yovie yang tidak memiliki pengalaman atau latar belakang dengan posisi komisaris yang diberikan kepadanya.
Secara umum, wakil menteri atau staf khusus Presiden yang mendapatkan jabatan komisaris di BUMN hampir didominasi bagian tim pemenangan Prabowo-Gibran, dan kader pada partai pendukung di Pemilu 2024 lalu.
Sebut saja Giring yang merupakan polisti PSI, Fahri Hamzah politisi Partai Gelora, dan Immanuel Ebenezer yang merupakan kelompok relawan pendukung Prabowo-Gibran.
Sependapat dengan Huda, Peneliti Transparency International Indonesia (TII) Bagus Pradana menilai ada potensi konflik kepentingan dalam penunjukan komisaris BUMN dari kalangan politisi.
Dalam tulisannya yang dimuat di laman resmi TII pada Juni 2024 lalu, Bagus memperkenalkan istilah revolving door atau pintu putar untuk menggambarkan fenomena di mana individu berpindah dari satu posisi di politik menuju ke arena bisnis atau sebaliknya.
Menurutnya jika peralihan politisi memasuki badan usaha negara tidak diatur bakal menimbulkan konflik kepentingan.
Dia menjelaskan, politisi yang diangkat jadi komisaris BUMN besar kemungkinan akan merasa berhutang budi kepada pihak yang memberikannya jabatan.
"Besar pula risiko mereka yang diangkat sebagai petinggi di BUMN ini cenderung mengutamakan kepentingan pribadi atau kelompoknya ketimbang kepentingan perusahaan," tulis Bagus.
Pada titik tersebut, dijelaskannya, praktik klientalisme politik yang sudah diangap lumrah sebagaian kalangan akan turut memperbesar peluang terjadinya tindak pidana korupsi di BUMN.
Bagus menegaskan, penunjukan komisiaris atau direksi BUMN seharusnya berdasarkan kebutuhan.
Karenanya, kandidat yang maju adalah sosok-sosok yang memiliki kualifikasi sesuai kebutuhan.
"Apabila pengangkatan lebih didasarkan pada pertimbangan politik atau terindikasi adanya balas budi politik, besar kemungkinan bahwa orang yang diangkat tidak memiliki kompetensi yang memadai untuk posisi tersebut. Kondisi ini juga dapat mengganggu kinerja BUMN," tuturnya.
Sumber: Suara
Artikel Terkait
Menelusuri Desa KKN Jokowi Yang Jadi Sorotan, Benarkah Baru Berdiri Tahun 2000?
Polda Tangani 6 Laporan Terkait Ijazah Jokowi, Dari Siapa Saja?
Arkeolog Prof Harry Simanjuntak Keluar Dari Tim Fadli Zon, Bongkar Kejanggalan Penulisan Sejarah!
Bikin Blunder, Tito Harus Segera Mundur