GELORA.ME - Angin politik pasca-Pilpres 2024 mulai menunjukkan arahnya yang tak terduga, dan sinyal paling kencang bertiup dari pertemuan dua raksasa politik, Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto dan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri.
Pertemuan yang disebut-sebut sebagai rekonsiliasi akbar ini ternyata membawa dampak getaran yang lebih luas, salah satunya diduga kuat mulai merontokkan barisan pendukung setia Presiden Joko Widodo.
Pemandangan politik yang selama satu dekade terakhir terpusat pada figur Jokowi kini menghadapi tantangan serius.
Kekuatan yang dulu solid mendukungnya, kini dihadapkan pada realitas baru: pusat gravitasi kekuasaan mulai bergeser.
Pertemuan Prabowo dan Megawati bukan sekadar silaturahmi politik biasa; ini adalah penegasan terbentuknya sebuah poros kekuatan baru yang berpotensi mendominasi panggung politik nasional hingga lima tahun mendatang.
Koalisi besar di bawah naungan Prabowo, yang kini mendapat restu dari Megawati, secara efektif menciptakan magnet politik yang menarik gerbong-gerbong pendukung dari berbagai arah.
Imbas paling terasa adalah pada barisan relawan dan loyalis Jokowi.
Kelompok yang lahir dari semangat perjuangan untuk memenangkan Jokowi pada 2014 dan 2019 ini mulai menunjukkan tanda-tanda kegelisahan.
Projo, sebagai salah satu organ relawan terbesar dan paling berpengaruh, menjadi sorotan utama.
Ketua Umum Projo, Budi Arie Setiadi, secara terbuka memberikan sinyal kuat bahwa barisannya kemungkinan besar akan merapat ke pemerintahan Prabowo.
Sikap Projo ini dianggap sebagai pertanda awal dari sebuah eksodus politik.
Ketika relawan yang menjadi tulang punggung gerakan populis Jokowi mulai mencari 'rumah' baru.
Hal ini mengirimkan pesan bahwa pengaruh sang mantan presiden tidak lagi sekuat dulu.
Pernyataan Budi Arie Setiadi yang menanggapi dinamika terbaru ini menegaskan bahwa pragmatisme politik telah mengambil alih.
"Kami akan berbaris di belakang Prabowo," menjadi sebuah kalimat simbolik yang menandai berakhirnya sebuah era dan dimulainya babak baru, di mana loyalitas tidak lagi terikat pada satu figur, melainkan pada konstelasi kekuasaan yang paling menjanjikan.
Lalu, bagaimana nasib langkah politik Jokowi ke depan? Banyak analis memprediksi bahwa manuver politik Jokowi akan menjadi 'pincang'.
Tanpa basis massa relawan yang solid dan dengan partai-partai pendukungnya yang kini harus berbagi kue kekuasaan dalam koalisi raksasa pimpinan Prabowo, ruang gerak Jokowi untuk menempatkan agenda-agenda warisannya atau bahkan memainkan peran sebagai kingmaker di masa depan akan sangat terbatas.
Ia berisiko menjadi 'bebek lumpuh' lebih cepat dari yang diperkirakan.
Kekuatan politik yang dibangunnya selama sepuluh tahun berpotensi tergerus oleh aliansi strategis antara mantan rival dan partai yang mengusungnya.
Dinamika ini membuktikan sekali lagi bahwa dalam politik, tidak ada kawan atau lawan yang abadi.
👇👇
saat berhalanya sudah mulai lemah.. dia lgsg nyari berhala baru untuk berlindung.
— IQ58minus12% (@JurdilNdasMu) August 6, 2025
apakah Pak @prabowo dan @Gerindra mau dijadikan tempat berlindung orang2 yg terindikasi sbg pelaku KORUP?
sekalian aja rekrut airlangga, zulhas, bahlul, luhut, muldoko, listyo, tito, dll.
Sumber: Suara
Artikel Terkait
Usai Tuding Ijazah Jokowi Palsu, Dokter Tifa Pertanyakan Ijazah SMA Gibran, Beberkan Fakta Ini!
Bos Relawan Jokowi Melenggang Bebas Meski Sudah Divonis, KOSMAK: Diskriminasi Hukum!
Prabowo Ternyata Dirancang Sang Ayah Jadi Presiden dari Tahun 1990
Rampung Diperiksa KPK, Yaqut Bungkam saat Dicecar Wartawan soal Kasus Korupsi Haji