GELORA.ME - Dosen Fakultas Ekologi Manusia IPB University Ivanovich Agusta mengatakan gerakan 'Stop Tot Tot Wuk Wuk' yang sedang ramai di media sosial berpeluang mengarah ke civil disobedience atau pembangkangan sipil. Seruan itu menunjukkan protes masyarakat terhadap maraknya penggunaan sirene, strobo, dan rotator dalam patroli dan pengawalan pejabat di jalan raya.
“Masyarakat kini sedang memproduksi sanksi sosial yang lebih keras dibandingkan otoritas negara,” kata Ivanovich melalui keterangan tertulis, Kamis, 18 September 2025.
Menurut Ivanovich, yang juga merupakan sosiolog ini, slogan ‘Stop Tot Tot Wuk Wuk’ kini bukan sekadar kelakar warganet, melainkan simbol perlawanan publik. Penolakan besar ini merupakan bagian dari perkembangan norma sosial. “Norma sosial bukanlah aturan yang statis, tapi dibentuk dalam proses dan dipertahankan lewat sanksi sosial berupa teguran, cemoohan, pengucilan, hingga aksi massa,” ujarnya.
Masyarakat, dia menilai, sedang melawan pengabaian terhadap landasan hukum. Sedikit demi sedikit, ada akumulasi kejengkelan masyarakat, kemudian semangat sipil yang juga menguat setelah demonstrasi massal pada akhir Agustus 2025. Media sosial akhirnya memperbesar gaung seruan ‘Stop Tot Tot Wuk Wuk’.
Bagi masyarakat, penggunaan strobo dan sirene oleh pejabat kerap dipandang sebagai penyalahgunaan wewenang, meski dalam beberapa hal masih tergolong legal secara hukum. Persepsi negatif ini, kata Ivanovich, tumbuh dari kesenjangan antara aturan formal dan praktik di lapangan, diperparah oleh kesan arogansi serta ketidakadilan.
Penyalahgunaan yang sering ditemui, antara lain strobo untuk aktivitas non-darurat, serta pemakaian yang terlalu sering. Masyarakat juga mengeluhkan cara berkendara yang agresif dan intimidatif, serta membahayakan pengguna jalan. Minimnya penegakan hukum membuat pelanggaran berulang dan semakin mengikis kepercayaan publik terhadap sistem darurat.
“Yang kini membahayakan, respons publik saat mendengar sirene menjadi skeptis,” ucap Ivanovich.
Dua Mata Pedang Penolakan Publik
Penggunaan sirene dan strobo yang tidak tepat ditengarai memicu resistensi terhadap instruksi petugas, hingga meningkatnya ketegangan horizontal di jalan raya. Situasi ini, kata Ivanovich, yang memperbesar peluang pembangkangan sipil.
“Pengguna jalan yang selama ini terjebak macet kini menguatkan solidaritas publik dan kesadaran kolektif, hingga akhirnya membentuk norma baru kesetaraan posisi di jalan raya,” tutur dia. Slogan ‘Stop Tot Tot Wuk Wuk’ diperkirakan membuat aara elite mulai menahan diri, setidaknya hingga beberapa pekan ke depan.
Ivanovich mengatakan penolakan publik ibarat pedang bermata dua. Satu sisinya melahirkan mekanisme kontrol sosial yang efektif untuk mendorong akuntabilitas dan kesetaraan. Namun, ada juga risiko yang mengganggu tatanan sosial dan membahayakan keselamatan publik, bila solusinya belum jelas.
“Sirene dan strobo harus digunakan terbatas sesuai undang-undang. Tanpa itu, resistensi publik akan terus menguat,” ujar Ivanovich.
Artikel Terkait
Sri Mulyani, Kerusuhan, dan Politik Uang Negara: Antara Kebetulan dan Skenario
Terungkap! Pembobol Rekening Dormant Rp204 Miliar Hanya Butuh 17 Menit untuk Beraksi
Alasan Walk Out Acara TV karena Muak, Rocky Gerung: Forum Pencari Sensasi dan Hasilkan Kedangkalan
Teka-teki Temuan Radioaktif di Serang Diduga Hasil Reaktor Nuklir