Tok! Ketuk Palu Dinasti Putusan Mahkamah Konstitusi

- Senin, 23 Oktober 2023 | 08:30 WIB
Tok! Ketuk Palu Dinasti Putusan Mahkamah Konstitusi



OLEH: RIFQI NURIL HUDA

    

KONSTITUSI Indonesia yang tertuang dalam Pasal 1 ayat 3 mengatakan “Indonesia adalah Negara Hukum”. Artinya Negara Indonesia adalah berlandaskan hukum (rechtsstaat) bukan kekuasaan (machtstaat). Hukum memiliki kedudukan yang tertinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sehingga semua warga negara, termasuk pemerintah, harus tunduk pada hukum.


Sejalan dengan negara hukum yang diterapkan Indonesia lewat konstitusi yang dibentuk, menurut Julius Stahl, ciri dari negara hukum adalah, pertama, pengakuan hak asasi manusia (grondrechten bescherming). Kedua, pemisahan kekuasaan negara (trias politica), ketiga, pemerintahan yang berdasarkan peraturan perundang-undangan (wetmatigheid van bestuur), dan keempat, adanya peradilan tata usaha negara (bijzondere administratieve rechtspraak).





Apabila ditarik jauh ke belakang, konsepsi negara hukum dan pembagian kekuasaan tentu tidak bisa lepas dari pemikiran Montesquieu. Ia mengajukan teorinya bersamaan dengan berkembangnya Revolusi Prancis akibat kesewenang-wenangan dan tirani Raja Louis.


Teori Montesquieu ini dapat digunakan sebagai instrumen untuk mengurai benang kusut konflik kekuasaan antara raja dengan parlemen, yang terjadi pada abad ke-17. Menurut Montesquieu, seperti dikemukakan dalam bukunya yang terkenal "De L'Esprit de lois" (1748), kekuasaan pemerintahan dapat dibagi atau dipisahkan menjadi beberapa jenis.


Pertama, kekuasaan legislatif, yang memiliki kewenangan untuk menetapkan hukum-hukum yang sifatnya mengatur masyarakat umum. Kedua, kekuasaan eksekutif, yang memiliki kewenangan terkait dengan implementasi dan penegakan hukum. Ketiga, kekuasaan yudikatif, yang memiliki kewenangan terkait dengan penyelesaian sengketa yang timbul akibat diterapkannya hukum.


Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai pemegang kekuasaan yudikatif di Indonesia dibentuk pada 13 Agustus 2003, melalui Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pembentukan MK ini merupakan salah satu hasil dari reformasi ketatanegaraan yang dilakukan di Indonesia pada 1998. Usulan terhadap pembentukan MK di Indonesia sebenarnya sudah ada sejak masa penyusunan Undang-Undang Dasar 1945.


Hal ini dapat dilihat dari pendapat Mohammad Yamin yang mengusulkan agar Mahkamah Agung diberi kewenangan untuk "membanding undang-undang". Namun, usulan ini ditolak oleh Soepomo dengan alasan bahwa kewenangan hakim untuk menguji undang-undang bertentangan dengan konsep supremasi Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).


Pada masa Orde Baru, ide pembentukan MK kembali muncul. Hal ini dapat dilihat dari pembentukan Komisi Yudisial (KY) pada tahun 2000. KY merupakan lembaga yang bertugas untuk mengusulkan pengangkatan hakim agung, termasuk hakim konstitusi. Pembentukan MK secara resmi dilakukan melalui Perubahan Ketiga UUD 1945. Perubahan ini memberikan kewenangan kepada MK untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan hasil pemilihan umum.


MK memiliki kedudukan sebagai salah satu lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. MK merupakan pemegang kekuasaan kehakiman bersama-sama dengan Mahkamah Agung.


Sejarah pembentukan Mahkamah Konstitusi, Pertama, 1945: Mohammad Yamin mengusulkan agar Mahkamah Agung diberi kewenangan untuk "membanding undang-undang". Kedua, 1998: Reformasi ketatanegaraan di Indonesia mendorong pembentukan MK. Ketiga, 2000: Komisi Yudisial (KY) dibentuk. Keempat, 2002: Perubahan Ketiga UUD 1945 disahkan. Dan pada 2003: MK resmi dibentuk.


Melihat sejarah dibentuknya MK tidak lepas perdebatan yang panjang para ahli hukum di Indonesia dan adanya fenomena diturunkannya rezim otoritarianisme Orde Baru oleh rakyat Indonesia yang disebut dengan era reformasi. Tentu amanat reformasi adalah menghapuskan segala bentuk pengaturan negara yang berlandaskan mekanisme kesewenang-wenangan hingga tidak patuh terhadap hukum.


Dan upaya amanat reformasi adalah salah satunya dilakukannya amandemen Undang-Undang Dasar 1945 hingga melahirkan lembaga kekuasaan kehakiman baru yaitu Mahkamah konstitusi pada 2003 dengan diterbitkannya Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.


Seiring dengan momentum perubahan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) pada era reformasi, usulan pembentukan Mahkamah Konstitusi (MK) di Indonesia diterima keberadaannya sebagai mekanisme untuk mengontrol pelaksanaan UUD 1945 dalam bentuk undang-undang.


Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang ditegaskan kembali dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a sampai dengan d Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, kewenangan MK adalah menguji Undang-undang terhadap UUD 1945, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum, termasuk pemilihan umum kepala daerah.


Selain itu, berdasarkan Pasal 7 ayat (1) sampai dengan ayat (5) dan Pasal 24C ayat (2) UUD 1945 yang ditegaskan lagi oleh Pasal 10 ayat (2) UU MK, kewajiban MK adalah memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.


Dengan serangkaian kewenangan dan kewajiban tersebut, dalam perjalanan waktu kehadiran MK sangat dibutuhkan oleh masyarakat, terutama dalam kewenangan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 yang menjadi dominan kerja MK. Kewenangan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 merupakan ide awal pembentukan MK.


Sejak berdiri pada 2003 sampai 2022, MK meregistrasi 3.463 yang terdiri dari 1603 perkara pengujian Undang-undang, 29 perkara sengketa kewenangan antar lembaga negara (SKLN), 676 perkara perselisihan hasil pemilihan umum, dan 1.113 perkara perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah (Data Konferensi Pers MK 2022).


Kekuasaan kehakiman saat ini diemban oleh dua lembaga yakni Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Keberadaan MK sebagai pelaku kekuasaan kehakiman yang kewenangannya ditentukan dalam UUD 1945, sangatlah diperlukan karena amandemen UUD 1945 telah menyebabkan UUD 1945 kedudukannya sebagai staat fundamental norm yang di dalamnya kewenangan lembaga-lembaga negara diatur, artinya segala persoalan kenegaraan harus didasarkan dan bersumber dari UUD 1945 tersebut, selanjutnya MPR tidak lagi menjadi lembaga tertinggi dan kedudukan lembaga-lembaga negara yang diatur dalam UUD 1945 adalah sederajat, serta masing-masing lembaga negara mempunyai kewenangan sesuai dengan fungsinya yang diberikan oleh UUD 1945.


Untuk menjaga agar kehidupan ketatanegaraan secara hukum tidak menyimpang dari ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh UUD 1945, maka diperlukan suatu tata cara hukum apabila terjadi pelanggaran terhadap UUD 1945. Oleh karenanya kewenangan MK untuk melakukan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 yang kewenangan diberikan oleh UUD 1945 adalah dimaksudkan untuk menegakkan ketentuan yang terdapat dalam UUD 1945 karena dari hal inilah persoalan konstitusionalitas dapat timbul.


Pengujian Peraturan Perundang-undangan


Salah satu kewenangan MK yang diberikan oleh amandemen UUD 1945 dan UU MK adalah menguji Undang-undang terhadap UUD 1945. Dalam UU MK ditegaskan bahwa yang dapat mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang salah satunya adalah perorangan warga negara Indonesia. MK juga telah membuat kualifikasi kerugian konstitusional yang disebabkan oleh berlakunya Undang-undang yang dimohonkan untuk diuji harus dipenuhi lima syarat yang bersifat kumulatif.


Pertama, adanya hak konstitusional yang diberikan oleh UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kedua, hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang sedang diuji.


Ketiga kerugian konstitusional tersebut bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi. Keempat, adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian konstitusional Pemohon dengan undang-undang yang dimohonkan untuk diuji. Dan kelima, adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.


Pada 16 Oktober 2023, MK mengeluarkan putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang pengujian formil dan materiil Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Putusan tersebut mengabulkan sebagian permohonan yang menguji batas usia calon presiden dan wakil presiden (capres-cawapres).

Halaman:

Komentar