Tok! Ketuk Palu Dinasti Putusan Mahkamah Konstitusi

- Senin, 23 Oktober 2023 | 08:30 WIB
Tok! Ketuk Palu Dinasti Putusan Mahkamah Konstitusi


Dalam putusan tersebut, MK menyatakan bahwa ketentuan batas usia capres-cawapres yang diatur dalam Pasal 169 huruf q UU Pemilu bertentangan dengan konstitusi. Ketentuan tersebut menyatakan bahwa calon presiden dan wakil presiden harus berusia paling rendah 40 tahun.


MK berpendapat, ketentuan batas usia tersebut tidak memenuhi syarat untuk menjadi syarat pencalonan presiden dan wakil presiden. Ketentuan tersebut tidak memiliki hubungan kausal dengan syarat pencalonan presiden dan wakil presiden, yaitu harus memiliki pengalaman politik dan pemerintahan.


Selain itu, MK juga berpendapat bahwa ketentuan batas usia tersebut bersifat diskriminatif. Ketentuan tersebut membatasi hak konstitusional warga negara untuk mencalonkan diri sebagai presiden dan wakil presiden. Sehingga dalam putusan ini MK dapat dikatakan memutuskan permohonan dengan status putusan bersyarat.


Pada hakikatnya MK menjadi pencipta hukum meskipun tidak melalui proses legislasi (negative legislator), karena memang bukan kompetensi MK. Mahkamah Konstitusi dalam menjatuhkan putusan bersyarat baik konstitusi bersyarat maupun inkonstitusi bersyarat digunakan berdasarkan ketentuan positif tidak ada pengaturannya. Namun terdapat karakteristik di dalam putusan yang menyatakan konstitusi bersyarat maupun inkonstitusi bersyarat.


Karakteristik Kedua putusan tersebut terlihat pada pertimbangan hakim dan amar putusannya. Karena kedua putusan tersebut memberikan syarat dan makna kepada addressat putusan MK dalam memaknai dan melaksanakan suatu ketentuan Undang-undang dengan memperhatikan penafsiran MK atas konstitusionalitas ketentuan materiil undang-undang yang diuji di Mahkamah Konstitusi.


Varian putusan tersebut merupakan penafsiran fungsional yang memposisikan hukum sebagai suatu sistem harmonis, yaitu adanya keterkaitan dan kesesuaian baik secara horizontal dengan sesama undang-undang maupun secara vertikal dengan peraturan dibawahnya atau peraturan yang lebih rendah.


Berdasarkan putusan tersebut, maka batas usia capres-cawapres di Indonesia menjadi 40 tahun atau pernah menjabat sebagai kepala daerah atau pejabat negara lainnya yang dipilih melalui pemilu atau pilkada.


Putusan MK tersebut telah menimbulkan berbagai tanggapan, baik pro maupun kontra. Beberapa pihak menilai bahwa putusan tersebut merupakan langkah yang tepat untuk meningkatkan partisipasi politik masyarakat, terutama generasi muda. Pihak lain menilai bahwa putusan tersebut merupakan langkah yang berbahaya karena dapat membuka peluang bagi dinasti politik untuk berkuasa.


Indikasi Ketuk Palu Dinasti Politik


Sebagai lembaga kekuasaan negara yudikatif MK sejak adanya perkara permohonan batas usia capres dan cawapres pada pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) telah menuai berbagai kontra pemikiran. Bahwa kewenangan syarat usia capres dan cawapres dalam UU Pemilu adalah wilayah kekuasaan negara eksekutif dan legislatif yaitu Pemerintah dan DPR dengan bentuk Open Legal Policy. Sehingga dalam perdebatan panjang menuju putusan MK tersebut mahkamah tidak dapat memproses permohonan para pemohon karena bukan wilayah kompetensi peradilan MK.


Selanjutnya kejanggalan muncul dari dalam internal MK yang di mana maksud penentuan usia bagi capres dan cawapres pernah disampaikan oleh salah satu pemohon, yang mana arah dari putusan MK akan memberikan karpet merah kepada Gibran Rakabuming Raka yang saat ini menjadi WaliKota Surakarta dan sekaligus keponakan dari Ketua MK, Anwar Usman.


Sejalan dengan segala kejanggalan yang menjadi analisis berbagai pihak dibacakannya putusan MK, dissenting opinion atau pendapat berbeda dari hakim MK menyatakan bahwa putusan MK terkesan lama dan cenderung tidak seperti biasanya.


Kedua, Ketua MK yang awalnya tidak pernah ikut dalam proses Rapat Pemusyawaratan Hakim (RPH)  Putusan Perkara No. 29-51-55/PUU-XXI/2023 yang ditolak oleh MK, tetapi tiba-tiba hadir dalam RPH sehingga beberapa hakim mendukung model alternatif yang dimohonkan pemohon.


Kejadian ini mencerminkan adanya konflik kepentingan dalam tubuh MK. Ini karena permohonan uji materil No. 90/PUU-XXI/2023 jelas menyebutkan nama keponakannya, Gibran Rakabuming Raka, sebagai inspirasi pemohon dalam mengajukan permohonan uji materil terhadap ketentuan batas usia capres dan cawapres.


Seharusnya, dalam perkara permohonan uji materil No. 90/PUU-XXI/2023 putusan MK dapat dibatalkan dan Anwar Usman tidak boleh ikut dalam RPH hakim MK seperti di putusan perkara sebelummya. Karena perkara yang dihadiri Anwar Usman secara tiba-tiba ada hubungan kekeluargaan yaitu adik ipar Jokowi, yang artinya ia adalah paman dari Gibran.


Sementara itu, Pasal 17 ayat 5 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman telah menegaskan bahwa seorang hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila ia mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa, nemo iudex in causa sua. Seyogyanya, Anwar sebenarnya punya tanggung jawab moral untuk tidak terlibat dalam persidangan permohonan uji materil No. 90/PUU-XXI/2023. Kenyataannya, ia justru terlibat dalam memutuskan langsung.


Dasar analisis peraturan perundang-undangan pembatalan dari putusan MK uji materil No. 90/PUU-XXI/2023 menurut penulis sudah tertuang dalam aturan tertulis di berbagai peraturan.


Pertama, tertuang dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 9 Tahun 2009 tentang Pemberlakuan Deklarasi Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi klausul prinsip ketidakberpihakan point 5 yang isinya “Hakim konstitusi – kecuali mengakibatkan tidak terpenuhinya kuorum untuk melakukan persidangan – harus mengundurkan diri dari pemeriksaan suatu perkara apabila hakim tersebut tidak dapat atau dianggap tidak dapat bersikap tak berpihak karena alasan-alasan di bawah ini:


a. Hakim konstitusi tersebut nyata-nyata mempunyai prasangka terhadap salah satu pihak; dan/atau  b. Hakim konstitusi tersebut atau anggota keluarganya mempunyai kepentingan langsung terhadap putusan”.


Kedua, Undang-undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 17 ayat 5 mengatakan, “Seorang hakim atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila ia mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa, baik atas kehendaknya sendiri maupun atas permintaan pihak yang berperkara".


Ayat 6, “Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), putusan dinyatakan tidak sah dan terhadap hakim atau panitera yang bersangkutan dikenakan sanksi administratif atau dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan.”


Dan ketiga kekuasaan kehakiman mengikat kepada MK seusai dengan isi Undang-Undang Dasar 1945 Bab Sembilan Kekuasaan Kehakiman  Pasal 24a Mahkamah Agung dan  Pasal 24c Mahkamah Konstitusi.


Maka dalam ketukan palu putusan MK yang mengarah kepada praduga dinasti politik mencederai amanat reformasi. Salah satu produk reformasi adalah adanya lembaga peradilan independen untuk melindungi hak-hak konstitusional warga negaranya.


Pada awal pembentukannya, MK diharapkan untuk memperhatikan secara serius ide awal dari Hans Kelsen, filsuf hukum dari Austria, yang menghendaki agar MK mampu menjadi penjaga konstitusi (the guardian of constitution) dari kesewenang-wenangan institusi-institusi politik seperti Presiden dan lembaga legislatif yang kerap berjalan secara disfungsional.


Sayangnya, banyak berbagai kalangan menilai putusan MK tersebut bagian dari upaya untuk memberikan ruang golongan muda menjadi pemimpin di negeri ini. Penulis menilai ini konteks yang berbeda, problem konstitusi dan peluang pemuda untuk hadir sebagai pemimpin negeri ini jangan dicampur adukkan. Perjuangan pemuda dalam memperjuangkan reformasi berharap terhadap produk reformasi tersebut kini mulai padam dan mati.


MK tampaknya telah gagal menjadi lembaga peradilan yang independen. Padahal lembaga peradilan yang independen adalah salah satu syarat berdirinya negara demokrasi yang berlandaskan hukum. MK perlu merefleksikan dan menghukum oknum hakim yang gagal menjawab tuntutan reformasi. Lembaga peradilan seharusnya bebas dari semua tekanan, termasuk tekanan politik. 


(Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Wakil Bendahara Umum Dewan Pimpinan Pusat Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia, Ketua Umum Akar Desa Indonesia)

Halaman:

Komentar