IRONI! Parpol dan Tokoh Hanya Joget Poco-Poco Saat Rakyat Teriakkan Pemakzulan Gibran

- Rabu, 02 Juli 2025 | 14:10 WIB
IRONI! Parpol dan Tokoh Hanya Joget Poco-Poco Saat Rakyat Teriakkan Pemakzulan Gibran


Diketahui, Forum Purnawirawan Prajurit TNI secara resmi mengirim surat tertanggal 26 Mei 2025 kepada pimpinan DPR dan MPR RI yang mendesak proses pemakzulan atau impeachment terhadap Wapres Gibran.


Tuntutan ini disebut sebagai bentuk penolakan terhadap dugaan pelanggaran etika dan konstitusi dalam proses pencalonannya di Pilpres 2024.


Mereka menilai keabsahan Gibran sebagai wakil presiden cacat hukum karena lahir dari putusan MK yang kontroversial.


Sebelumnya, Pakar hukum tata negara dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Dr. Yance Arizona, S.H., M.H., M.A., menyampaikan bahwa permintaan pemberhentian Wakil Presiden Gibran oleh Forum Purnawirawan TNI kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) belum memiliki dasar hukum yang memadai.


Menurutnya, dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, setiap proses pemakzulan harus berjalan berdasarkan ketentuan konstitusional dan bukan semata-mata didorong oleh opini atau tekanan politik.


Oleh karena itu, penting untuk membedakan antara dorongan politik simbolik dan mekanisme hukum yang sungguh-sungguh dapat ditempuh.


“Argumen-argumennya juga tidak begitu solid secara hukum. Belum tentu ini memang satu proses hukum yang sedang digulirkan, tapi bisa jadi proses politik yang justru menjadikan spotlight pemberitaan media terarah ke Wakil Presiden Gibran,” ujarnya.


Secara konstitusional, mekanisme pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden telah diatur secara tegas dalam Pasal 7A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.


Pasal tersebut menyatakan bahwa pemakzulan hanya dimungkinkan apabila yang bersangkutan terbukti melakukan pelanggaran hukum, antara lain berupa pengkhianatan terhadap negara, tindak pidana korupsi, penyuapan, kejahatan berat lainnya, perbuatan tercela, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.


Diketahui landasan hukumnya:


1. Pasal 7A UUD 1945 menetapkan bahwa presiden dan wakil presiden hanya dapat diberhentikan atas usul DPR dan berdasarkan keputusan MPR jika terbukti:


- melakukan pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat, atau perbuatan tercela; 

- atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai pejabat negara


2. Pasal 7B UUD 1945 menjelaskan mekanisme konkret:


- DPR mustahil mengajukan usul langsung ke MPR; sebelum itu, DPR wajib meminta MK memeriksa dugaan pelanggaran

- Pengajuan DPR ke MK harus didukung oleh 2/3 anggota dari jumlah dan kehadiran dalam rapat paripurna

- MK memiliki 90 hari untuk memutus jika benar terjadi pelanggaran.

- Bila MK menyatakan terbukti, DPR menggelar rapat paripurna untuk meneruskan usul ke MPR; kemudian MPR wajib memutuskan dalam 30 hari, dengan kuorum minimal ¾ anggota hadir dan persetujuan ⅔ anggota hadir.

- Wapres/gubernur berhak menyampaikan pembelaan sebelum keputusan akhir diambil.


Sumber: Fajar

Halaman:

Komentar