OLEH: PANGI SYARWI CHANIAGO
PRESIDEN Joko Widodo secara terang-terangan mengatakan akan ikut “cawe-cawe” dalam pemilihan presiden 2024. Pernyataan ini telah keluar dari norma dan tradisi demokrasi yang sehat di mana seorang presiden seharusnya tidak terlibat dan melibatkan diri secara langsung dalam menentukan siapa penerusnya.
Ikut terlibat dan bahkan menyatakan secara terbuka tidak akan netral dalam rangkaian proses Pemilu 2024 adalah pernyataan tidak lazim dalam negara demokratis, walaupun dibungkus dengan alasan demi “bangsa dan negara”, keberlanjutan pembangunan, stabilitas politik dan segudang alasan lainnya.
“Cawe-cawe” presiden dalam menentukan calon penerusnya dapat menimbulkan keraguan dan ketidakpercayaan terhadap proses politik yang lebih luas. Oleh karena itu, penting untuk menjaga keseimbangan antara stabilitas politik dan prinsip-prinsip dasar demokrasi.
Masyarakat sebagai pemegang kedaulatan sangat layak skeptis terhadap pernyataan ini, jargon “demi bangsa dan negara” atau mengatasnamakan rakyat seringkali digunakan untuk menutupi agenda dan kepentingan terselubung demi kepentingan pribadi dan golongan/kelompok tertentu.
Alih-alih demi kepentingan “bangsa dan negara”, Jokowi lebih ingin melindungi kepentingan pribadi dan kelompoknya, mempertahankan pengaruh politiknya, imunitas hukum dari kemungkinan atas kebijakan yang bermasalah ditemukan di kemudian hari.
Terdapat dampak negatif yang harus dipertimbangkan secara serius atas campur tangan Presiden Joko Widodo dalam menentukan penerusnya pada pemilihan presiden 2024.
Pertama, netralitas institusi. Campur tangan Jokowi dapat mengaburkan garis pemisah antara kekuasaan eksekutif dan lembaga negara lainnya. Pemerintahan yang seharusnya netral dalam memfasilitasi pemilihan dan menjamin proses demokratis menjadi terlihat tidak objektif.
Hal ini dapat merusak integritas lembaga negara, menciptakan kesan bahwa keputusan politik dipengaruhi oleh kepentingan pribadi atau partisan.
Kedua, pengurangan pluralitas dan partisipasi. Campur tangan Jokowi dalam menentukan penerusnya bisa mengurangi pluralitas politik dan partisipasi warga negara. Dalam demokrasi yang sehat, rakyat seharusnya memiliki kebebasan untuk memilih calon presiden sesuai dengan preferensi mereka.
Namun, jika presiden saat ini memiliki pengaruh yang besar dalam menentukan calon, hal itu dapat membatasi pilihan politik warga negara atas munculnya kandidat potensial dan merampas hak mereka untuk terlibat secara aktif dalam proses politik.
Ketiga, potensi kekuasaan berlebihan. Campur tangan Jokowi dapat menimbulkan kekhawatiran tentang akumulasi kekuasaan yang berlebihan. Dalam demokrasi, penting untuk memastikan adanya pemisahan kekuasaan yang jelas antara lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Artikel Terkait
Redenominasi Rupiah 2027: Target, Dampak, dan Kondisi Terkini
Mantan Ketua KPK Antasari Azhar Meninggal Dunia di Usia 72, Jenazah Disalatkan Sore Ini
Mantan Ketua KPK Antasari Azhar Meninggal Dunia: Ini Jadwal Salat Jenazah
Sanksi Adat Toraja untuk Pandji: 48 Kerbau, 48 Babi, dan Denda Rp2 Miliar