'Kuota Disulap, Ibadah Dijual': Skandal Haji Era Gus Yaqut!
Oleh: Ali Syarief
Akademisi
Aib Ibadah di Negeri Wakaf
Tiada kata paling ironi selain “korupsi dalam ibadah.” Kalimat itu memang tak lazim dalam logika iman.
Namun dalam republik yang kerap menukar akal sehat dengan kepentingan kekuasaan, ibadah pun bisa disulap jadi komoditas politik dan ladang rente.
Persis seperti yang kini tengah diselidiki Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK): penentuan kuota haji 2024 di era Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas.
Penambahan 20.000 kuota oleh pemerintah Arab Saudi, alih-alih menjadi berkah bagi umat Islam Indonesia, justru menguarkan bau tak sedap.
Kementerian Agama (Kemenag) berdalih kuota itu dibagi rata—50 persen untuk haji reguler, 50 persen untuk haji khusus—atas arahan dari Saudi.
Tapi anggota Pansus Haji DPR, Marwan Jafar, menyatakan menerima informasi sebaliknya: Saudi tak pernah mengatur semacam itu.
Jika klaim ini benar, maka jelas ada upaya manipulasi. Bukan hanya terhadap data, tetapi juga terhadap harapan jutaan calon jemaah yang selama bertahun-tahun menggenggam nomor antrean bak jimat.
Tercatat ada 3.503 jemaah haji khusus yang tiba-tiba berangkat tanpa menunggu giliran. Padahal dalam sistem resmi, mereka mestinya baru bisa berangkat tahun 2031.
Jamaah mana yang tidak geram jika antriannya yang panjang—sebagian mencapai 30 tahun—dilangkahi oleh mereka yang sanggup membayar lebih?
Ketika Dapur Ibadah Tercium Anyir
Tak hanya soal kuota, penyelenggaraan haji 2024 juga menyisakan borok lain: katering.
Lagi-lagi nama Kemenag terseret. Marwan Jafar menyebut dapur penyedia makan jemaah tak layak.
Bahkan ada dugaan “patgulipat” antara penyedia katering dan birokrasi kementerian. Ibadah suci ditunggangi rente. Seolah Tuhan bisa disuap lewat tender.
Pansus DPR mencium gelagat bahwa orientasi utama Kemenag bukanlah peningkatan pelayanan, melainkan keuntungan.
Dugaan itu menjadi lebih menguat ketika Gus Yaqut dua kali mangkir dari panggilan parlemen.
Alih-alih menjelaskan, ia memilih bungkam. Diam yang bukan emas, tapi mencurigakan.
KPK Masuk, Tapi Terlambat?
Pada 1 Agustus 2024, kelompok masyarakat sipil Front Pemuda Anti Korupsi (FPAK) melaporkan kasus ini ke KPK. Sayangnya, laporan mereka sempat dianggap belum cukup bukti.
Baru hampir setahun kemudian, 19 Juni 2025, KPK memastikan kasus ini masuk ke tahap penyelidikan.
Beberapa pihak mulai dipanggil, meski belum ada keterangan resmi siapa saja yang diperiksa.
Dalam sistem hukum normal, keterlambatan bisa dipahami. Namun dalam sistem birokrasi Indonesia yang dikelilingi oleh kepentingan politik dan balas jasa kekuasaan, keterlambatan bisa berarti pengaburan.
Terutama ketika nama Yaqut, tokoh penting dalam ormas besar dan bagian dari lingkar kekuasaan lama, jadi tokoh sentral perkara.
Maka benarlah kata Wakil Ketua MPR, Hidayat Nur Wahid: sekalipun Pansus DPR bukan lembaga hukum, laporan dan sorotannya merupakan dokumen publik yang bisa dipakai KPK sebagai rujukan.
Celakanya, yang menjadi soal bukan data—melainkan kemauan politik untuk menyentuh yang tak tersentuh.
BP Haji dan Harapan yang Gentar
Tahun depan, penyelenggaraan haji akan ditangani Badan Penyelenggara Ibadah Haji (BP Haji), lembaga baru hasil reformasi dari kisruh lama.
Kepala BP Haji, Gus Irfan Yusuf, membawa pesan tegas dari Presiden Prabowo Subianto: transparansi dan akuntabilitas.
Ia bahkan merekrut delapan mantan penyidik dari KPK, Kejaksaan, dan Kepolisian ke dalam eselon 2 lembaganya.
Langkah ini layak diapresiasi. Namun pengalaman mengajarkan: institusi baik bisa rusak oleh niat busuk.
Karena itu, transparansi bukan hanya soal orang-orang baik di dalamnya, tapi juga mekanisme kerja yang memungkinkan publik ikut mengawasi.
Ibadah Tanpa Antrean, Etika Tanpa Tuhan
Korupsi dalam urusan haji bukan sekadar pelanggaran hukum. Ini adalah pembusukan moral.
Ketika antrean puluhan tahun dilompati, dan jatah orang miskin dikomersialkan untuk keuntungan segelintir elit, maka yang dilanggar bukan cuma regulasi, melainkan nurani kolektif bangsa.
Kita tak sedang membicarakan bangunan jalan tol atau proyek Ibu Kota baru. Ini tentang ibadah. Tentang rukun Islam yang kelima.
Tentang ribuan orang tua yang menjual sawah dan menabung belasan tahun demi satu kesempatan mencium Hajar Aswad.
Kalau pun kelak Yaqut terbukti bersalah, biarlah hukum bekerja. Tapi jika ia bebas karena sistem yang bobrok, sejarah akan tetap menuliskan namanya.
Sebab memanipulasi ibadah demi keuntungan adalah bentuk pengkhianatan yang bahkan tak bisa diampuni oleh generasi mendatang. ***
Sumber: FusilatNews
Artikel Terkait
2 Hal Yang Bikin Politikus PDIP Yakin Ijazah Jokowi Dibuat di Pasar Pramuka, Singgung Rektor UGM dan Sejumlah Petinggi!
Analis Politik UNJ: Pemakzulan Gibran Adalah Persoalan Serius, Kalau Dibiarkan Jadi Beban Pemerintah & Picu Gerakan Rakyat!
Bukan Netanyahu! Inilah Sosok Dalang Perang, Kendalikan Israel dari Balik Tirai
Dihujani Rudal Iran, Warga Israel Mulai Berbondong Mengungsi ke Luar Negeri