Tidak ada BAP, tidak ada pemeriksaan langsung.
Tidak ada pula ijazah asli yang dapat dijadikan bahan pembanding, apalagi untuk menilai keaslian dokumen S-1 UGM yang disengketakan.
Jadi, bagaimana mungkin para terdakwa dianggap telah berbohong atau menyebar hoaks, sementara data pembanding tidak pernah dihadirkan? Maka tidak semestinya vonis dijatuhkan atas dasar anggapan “fitnah”.
Namun anehnya, Pengadilan Tinggi Semarang kemudian menganulir vonis tersebut dan memutus bahwa tindakan para terdakwa bukan fitnah atau kebohongan, melainkan ujaran kebencian. Putusan ini kemudian diperkuat oleh Mahkamah Agung.
Pertanyaannya: kebencian terhadap siapa? Jika tidak terbukti ada fitnah dan tidak terbukti ada kebohongan, lalu darimana datangnya unsur kebencian itu? Secara logika hukum, ini merupakan bentuk konstruksi pasal yang dipaksakan — seolah ingin memenjarakan kritik melalui jalur tafsir emosional.
Hal serupa juga terjadi pada laporan terhadap sejumlah aktivis TPUA dan dua pakar IT, yang bahkan telah melakukan riset mendalam dan menyimpulkan bahwa dokumen yang diklaim sebagai ijazah Jokowi adalah palsu 100%.
Dalam kasus ini, justru seharusnya aparat penegak hukum wajib meminta ijazah asli dari Presiden untuk dilakukan uji forensik, bukan langsung menetapkan pelapor sebagai tersangka.
Jika laporan berasal dari pihak pecinta Jokowi dan menyebut Jokowi sebagai korban, maka sesuai KUHAP, Jokowi harus diperiksa dan dibuatkan BAP sebagai saksi korban.
Negara hukum tidak boleh berubah menjadi negara tafsir.
Penjara bukan tempat bagi mereka yang menyuarakan kritik berbasis data — apalagi jika negara belum bisa membuktikan bahwa kritik tersebut salah.
Jika rasa benci tidak dapat dibuktikan, maka vonis atas dasar kebencian adalah bentuk kezaliman hukum.
Aparat jangan dzalim! Arah angin sudah berubah. Zaman lancar berdusta sudah usai.
Kini, rakyat mulai “gatal-gatal” melihat ketidakadilan yang dipelihara! ***
Artikel Terkait
5 Cara Ampuh Mengamankan Transaksi Digital di Game Online
Prabowo Batal Kunjungan ke Israel, Disebut Bocor ke Media: Upaya Selamatkan Muka?
Luhut Usul Family Office Pakai APBN, Purbaya Menolak: Bangun Saja Sendiri!
Anak Riza Chalid Divonis Rugikan Negara Rp285 T dalam Kasus Korupsi Minyak Pertamina