Populisme, Pencitraan, dan Otoriter: Membandingkan KDM dan Jokowi Dalam Konteks Demokrasi

- Senin, 19 Mei 2025 | 18:20 WIB
Populisme, Pencitraan, dan Otoriter: Membandingkan KDM dan Jokowi Dalam Konteks Demokrasi


KDM, sejauh ini, tidak menunjukkan indikator-indikator di atas. Ia justru mempraktikkan keterbukaan tinggi dalam komunikasi publik. 


Ia tak mengintervensi pemilu, tak membungkam DPRD secara institusional, dan tak menggunakan aparat untuk menekan kritik. 


Ia bahkan menerima kritik terbuka dan menjawabnya langsung di media sosial.


Pengiriman siswa bermasalah ke pendidikan militer memang menuai kritik. 


Namun langkah itu bukanlah tindakan koersif sistematis, melainkan bentuk intervensi sosial berbasis kedisiplinan. 


Bahkan, banyak dari siswa itu mendapat pembiayaan pribadi dari sang gubernur. 


Dalam konteks ini, tindakan KDM lebih mencerminkan bentuk governing by example daripada governing by fear.


Steven Levitsky dan Lucan Way (2010) menyebut istilah competitive authoritarianism untuk rezim yang tampak demokratis namun sebenarnya menggunakan institusi formal untuk mempertahankan kekuasaan. Dalam pengamatan terhadap KDM, tidak terlihat adanya pola tersebut. 


Ia tidak menggunakan kekuasaan untuk mengamankan posisinya, justru berani menghadapi risiko politik dengan gaya kerja yang tidak populer di kalangan elite.



Konflik antara KDM dan DPRD Jawa Barat mencerminkan konflik klasik antara dua jenis legitimasi:


- Legitimasi prosedural: diperoleh dari pemenuhan aturan formal dan mekanisme koordinasi.


- Legitimasi kinerja (performance legitimacy): diperoleh dari hasil konkret yang dirasakan rakyat.


KDM mengambil risiko dengan memprioritaskan yang kedua. Ia tidak mengabaikan prosedur, tetapi mempercepatnya atau menempuh jalur alternatif ketika prosedur justru menjadi alat untuk menunda atau menumpuk kepentingan.


Dalam teori new public management (Osborne & Gaebler, 1992), tindakan seperti KDM dianggap sah dan perlu, khususnya dalam konteks stagnasi birokrasi. 


Model kepemimpinan seperti ini muncul ketika birokrasi tidak lagi bisa menjawab kebutuhan publik dengan cepat.



Sebagian kritik terhadap KDM muncul karena cara kerjanya yang tidak konvensional dianggap merusak tatanan. 


Namun justru di sinilah letak tantangan intelektual kita: perlu teoretisasi terhadap gaya kerja seperti ini agar tidak dikurung dalam label populis, otoriter, atau pencitraan semata.


KDM bisa dibaca dalam kerangka “disruptive bureaucrat”, yakni pemimpin yang menantang tata kelola lama tetapi tetap bertanggung jawab secara publik. 


Ia tidak menciptakan sistem paralel, tetapi memperbaiki sistem melalui tekanan moral dan kerja nyata.


Dalam konteks Luhmannian, KDM bisa dipahami sebagai “irritasi positif” terhadap sistem politik yang tertutup. 


Ia membawa diferensiasi baru—menginjeksikan logika kemanusiaan ke dalam sistem formal yang selama ini terlalu mekanistik.



KDM bukanlah Jokowi kedua. Ia bukan populis dangkal. Ia bukan pula otoriter. 


Ia adalah representasi dari eksperimen baru dalam kepemimpinan daerah: langsung, transparan, efektif, dan tak segan bertanggung jawab secara pribadi. 


Bahwa ia kontroversial, itu wajar. Setiap bentuk inovasi dalam politik selalu menimbulkan resistensi dari sistem lama.


Namun jika kita ingin demokrasi tumbuh bukan hanya dalam bentuk prosedur tetapi dalam hasil yang nyata, maka model-model kepemimpinan seperti KDM layak mendapatkan ruang. 


Bukan untuk dikultuskan, tapi untuk dipelajari dan dikritisi secara ilmiah—bukan secara emosional atau partisan. ***

Halaman:

Komentar