Populisme, Pencitraan, dan Otoriter: 'Membandingkan KDM dan Jokowi Dalam Konteks Demokrasi'
Oleh: Radhar Tribaskoro
Dedi Mulyadi atau akrab disebut KDM, menjabat sebagai Gubernur Jawa Barat dengan gaya kepemimpinan yang mencolok dan kontroversial.
Banyak pihak menyebutnya mirip dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi), bahkan menuduhnya sebagai jiplakan.
Tuduhan lain menyebut KDM sebagai pemimpin populis dengan kecenderungan otoriter.
Dalam tulisan ini, saya ingin mengulas secara lebih ilmiah dua hal: apakah benar KDM hanya meniru Jokowi, dan apakah langkah-langkah langsung dan tegas yang ia ambil menandakan sifat otoritarian?
Dengan merujuk pada teori populisme, demokrasi substantif, dan otoritarianisme kompetitif, kita akan mencoba menempatkan KDM dalam spektrum kepemimpinan kontemporer Indonesia.
Secara akademik, populisme bukanlah kata negatif, meskipun kerap digunakan sebagai celaan dalam diskursus publik.
Menurut Cas Mudde (2004), populisme adalah ideologi tipis (thin-centered ideology) yang melihat masyarakat terbelah menjadi dua kelompok homogen: rakyat murni versus elite korup.
Dalam konteks ini, pemimpin populis sering kali mengklaim diri sebagai perwakilan langsung dari rakyat, memotong jalur institusional untuk memberikan solusi cepat dan konkret.
Baik Jokowi maupun KDM bisa disebut populis dalam pengertian ini. Namun ada perbedaan fundamental dalam cara keduanya mengekspresikan populisme:
- Jokowi dikenal dengan gaya kepemimpinan simbolik: blusukan, komunikasi publik yang lembut, dan strategi pencitraan yang kuat sejak kampanye 2014.
Namun seiring berjalannya waktu, Jokowi semakin banyak menyesuaikan diri dengan elite partai dan oligarki ekonomi, memperlihatkan kompromi dengan kekuasaan terpusat.
- KDM, sebaliknya, justru muncul sebagai antitesis dari kompromi politik. Ia mendobrak sistem dari dalam, memilih jalan langsung—kadang sendirian—dalam mengeksekusi kebijakan.
Ia membongkar beton sungai, menertibkan pasar, bahkan mengirim siswa bermasalah ke pusat pelatihan militer. Ia tak segan menggunakan uang pribadi untuk mengatasi masalah kemanusiaan. Semuanya ditampilkan di media sosial secara transparan.
Keduanya menggunakan media sosial, tetapi KDM menggunakannya bukan hanya untuk pencitraan, melainkan sebagai ruang pertanggungjawaban langsung ke publik.
Jokowi memposisikan diri sebagai presiden yang mewakili stabilitas dan harmoni. KDM menampilkan diri sebagai pemimpin yang tegas, kadang konfrontatif, tetapi akuntabel.
Perbandingan ini menjadi penting karena media sosial telah menjadi arena baru demokrasi deliberatif.
Dalam kerangka pemikiran Manuel Castells (2009), kita memasuki era networked politics, di mana hubungan langsung antara pemimpin dan rakyat dimediasi oleh teknologi digital.
Ini menciptakan jenis baru dari legitimasi, yang tidak hanya berdasarkan prosedur (prosedural) tetapi berdasarkan partisipasi visual dan responsif.
Di sinilah kita melihat perbedaan mencolok:
- Jokowi cenderung menampilkan visualisasi stabilitas, kunjungan kerja, dan penegasan peran negara.
- KDM menggunakan media sosial sebagai instrumen untuk memetakan masalah, menunjukkan proses, dan membuka ruang koreksi publik secara real time.
Dengan demikian, menyebut KDM sebagai “jiplakan Jokowi” karena sama-sama menggunakan media sosial tidaklah adil.
KDM menampilkan aksi bukan pose. Gaya komunikasinya bukan penggambaran kekuasaan, melainkan transparansi kerja.
Tuduhan otoritarianisme sering dialamatkan kepada KDM oleh kalangan LSM dan partai politik. Namun jika kita kembali pada definisi ilmiah, otoritarianisme melibatkan beberapa elemen:
Artikel Terkait
Vendor Proyek Chromeboook Kembali Serahkan Uang ke Kejagung, Ini Nilainya!
Gilang Paksa Hadiri Pemakaman Cindy, Istri yang Tewas Usai Bulan Madu: Apa yang Sebenarnya Terjadi?
VIDEO CALL SEKS JEBAK PENGUSAHA SAWIT, UANG RP 1,6 MILIAR MELAYANG
Haru! Azan Pertama Berkumandang di Gaza Usai Gencatan Senjata Hamas-Israel, Suasana Damai Menyentuh Hati