Denny Indrayana menekankan bahwa hukum tata negara dan politik penegakan hukum harus menjadi pondasi dasar dalam menganalisis persoalan ijazah Jokowi. Ia menyoroti sejumlah peristiwa yang dianggapnya merusak tatanan demokrasi.
"Mantan presiden Jokowi telah menunjukkan bagaimana dia merusak tatanan demokrasi, terutama pada masa akhir jabatannya. Mulai dari intervensi dalam Pilpres 2024, hingga putusan Mahkamah Konstitusi yang mengesahkan Gibran sebagai cawapres, yang merupakan bentuk pelanggaran konstitusi," ungkapnya. "Kini, hal itu berlanjut dengan menjadikan warga negara yang kritis tersangka dalam kasus dugaan ijazah palsu."
Hukum Pidana Bukan Alat Intimidasi
Denny menyatakan kewajibannya untuk melakukan advokasi hukum guna mencegah penggunaan kekuasaan dalam menentukan arah penegakan hukum, khususnya hukum pidana.
"Hukum pidana adalah hukum yang dapat memenjarakan orang dan membatasi Hak Asasi Manusia. Dalam konteks ini, penggunaan hukum pidana sebagai alat intimidasi harus dilawan," tegasnya.
Dia menambahkan, tidak seorang pun, termasuk mantan presiden, berhak melaporkan orang yang berusaha membuka kebenaran mengenai dokumen publik, dalam hal ini ijazah Jokowi. "Justru sebaliknya, Jokowi seharusnya dengan gentleman menunjukkan ijazahnya kepada publik," tandas Prof Denny Indrayana.
Artikel Terkait
Sengketa Tanah Jusuf Kalla vs Lippo Group: Klaim, Fakta Hukum, dan Kronologi Lengkap
2 PSK Online Uzbekistan Ditangkap di Jakbar, Tarif Rp 15 Juta Sekali Main
MK Pangkas Masa Kepemilikan Tanah Investor di IKN, Total Hak Guna Usaha Turun dari 190 Jadi 95 Tahun
Soenarko Sebut Kasus Makar 2019 Rekayasa, Tak Pusingkan Wacana Abolisi