Banjir Sibolga: Penyebab, Dampak Lingkungan, dan Solusi Pencegahan

- Rabu, 03 Desember 2025 | 08:50 WIB
Banjir Sibolga: Penyebab, Dampak Lingkungan, dan Solusi Pencegahan

Sistem perizinan di Indonesia yang melibatkan berbagai level pemerintahan (pusat, provinsi) dan periode waktu yang berbeda menciptakan "labirin" yang mempersulit penelusuran tanggung jawab. Pasal 69 dan 88 UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sebenarnya menegaskan kewajiban dan tanggung jawab mutlak pelaku usaha. Namun, tanpa transparansi dokumen, penegakan hukum menjadi sangat sulit.

Kontradiksi Kebijakan: Penghargaan vs Realita Kerusakan

Ironisnya, negara justru memberikan penghargaan lingkungan kepada perusahaan yang beroperasi di kawasan kritis. Penghargaan seperti PROPER Hijau sering digunakan sebagai alat legitimasi, meski tidak menghapus kewajiban hukum perusahaan. Hal ini menunjukkan potensi kuatnya regulatory capture, di mana kebijakan publik didikte oleh kepentingan korporasi.

Menuntut Transparansi dan Pertanggungjawaban

Untuk mencegah bencana serupa, diperlukan pembukaan menyeluruh terhadap seluruh dokumen perizinan, perpanjangan, dan audit lingkungan sejak awal operasi. Setiap pejabat yang terlibat dalam proses pemberian izin harus dapat dipertanggungjawabkan. Bencana Sibolga adalah alarm keras bahwa pengelolaan hulu yang buruk akan selalu berujung pada bencana di hilir.

Kesimpulan: Hak Atas Lingkungan Sehat Harus Diutamakan

Pasal 28H UUD 1945 menjamin hak setiap orang untuk hidup sejahtera dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Bencana banjir bandang di Sibolga membuktikan bahwa hak ini terabaikan. Penyelesaiannya tidak cukup dengan bantuan darurat, tetapi harus dengan perbaikan sistemik, penegakan hukum yang tegas, dan prioritas keberlanjutan ekologis di atas kepentingan eksploitasi jangka pendek.

Tri Wibowo Santoso adalah Direktur Lingkar Study Data dan Informasi (LSDI).

Halaman:

Komentar