Dari kekaguman itu, sekembalinya dari China Presiden Jokowi menegaskan keberaniannya untuk memulai pembangunan infrastruktur strategis masa depan secara bertahap. Pada 23 April 2015 gayung pun bersambut, Menteri BUMN Rini Soemarno menyampaikan soal komitmen China untuk membantu Indonesia membangun infrastruktur, diantaranya kereta cepat. Keterlibatan China itu, termasuk kesiapan pendanaan dan teknologi dalam proyek kereta cepat untuk jalur Jakarta-Bandung. Bahkan, perbankan China melalui China Development Bank (CDB) dan Industrial and Commercial Bank of China (ICBC) berkomitmen memberikan pinjaman hingga USD 50 miliar.
Untuk itulah, Kementerian BUMN bersama perusahaan-perusahaan China membentuk konsorsium bersama, terkait studi proyek pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung. Pihak BUMN Indonesia menetapkan PT Wijaya Karya Tbk (WIKA) sebagai pimpinan manajemen proyek dengan anggota antara lain Jasa Marga, PTPN VIII, INKA, dan LEN Industri.
Sedangkan dari China konsorsium dipimpin oleh China Railway International yang beranggotakan China Railway Group Limited, Sinohydro Corporation Limited, The Third Railway Survey and Design Institute Group Corporation (TSDI), China Academy of Railway Sciences, CSR Corporation, China Railway Signal and Communication Corp.
Selanjutnya, di pertengahan Juni 2015, Menteri BUMN Rini Soemarno menandatangani perjanjian kerjasama bantuan pendanaan terhadap sejumlah BUMN. Jumlahnya tak tanggung-tanggung, yaitu mencapai USD 40 miliar, atau sekitar Rp520 triliun sebagai tanda keseriusan pemerintah Indonesia dalam proyek infrastruktur. Khusus proyek kereta cepat Jakarta-Bandung, pemerintah membuka kesempatan pada negara-negara lain (termasuk Jepang) bersaing dalam memenangkan proyek yang bernilai Rp78-87 triliun
Sejak awal, Presiden Jokowi menegaskan bahwa pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung tidak akan menggunakan uang rakyat atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Selain itu, pemerintah juga sama-sekali tidak memberikan jaminan apapun pada proyek tersebut apabila di kemudian hari bermasalah. Maka itulah, proyek kereta cepat penghubung dua kota yang berjarak sekitar 150 kilometer tersebut seluruhnya dikerjakan oleh konsorsium BUMN dan perusahaan China dengan perhitungan bisnis (busines to business/b to b).
Komitmen pemerintah ini dituangkan dalam Peraturan Presiden Nomor 107 Tahun 2015 tentang Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Cepat antara Jakarta dan Bandung dan Peraturan Presiden Nomor 93 Tahun 2015 (Perpres 93/2015) tentang Tim Penilai Proyeknya. Perpres ini mengamanatkan paling lambat 31 Agustus 2015 sudah ada nama pemenang proyeknya. Meskipun, nominasi kuat pemenang proyeknya telah terlihat dari keseriusan para pihak, yaitu Jepang dan China.
Pada akhirnya, China-lah yang memenangkan persaingan atas Jepang dalam pembangunan kereta cepat sepanjang 142,3 km tersebut. Pilihan kepada China ini tidak hanya soal proposal proyeknya yang non APBN, tapi juga tidak adanya jaminan pemerintah. Melainkan, nilai proyek yang diajukan oleh pihak Jepang lebih mahal, yaitu USD 6,2 miliar atau Rp86,8 triliun (USD 1 = Rp.14.000) dibandingkan China yang bernilai USD 5,5 miliar atau Rp77 triliun.
Faktanya, pembiayaan proyek infrastruktur kereta cepat justru mengalami peningkatan di tengah jalan (cost overrun) menjadi sejumlah USD 8 miliar atau setara Rp114,2 triliun. Tentulah publik ramai mempertanyakannya dan harus segera ditemukan faktor penyebab dan akar permasalahannya. Membengkaknya nilai proyek sejumlah USD 1,9 miliar atau Rp28,5 triliun dari rencana awal yang diajukan China harus dipertanggungjawabkan oleh pemerintah sebelumnya. Tidak bisa kesalahan ini hanya ditimpakan pada kinerja manajemen PT. KAI atas kerugian yang dialami pada periode 2024-2025.
Pertanyaan publik tentu saja, adalah mengapa di tengah jalan proyek kereta Jakarta-Bandung yang dikerjakan secara perhitungan bisnis (b to b) non APBN oleh konsorsium BUMN Indonesia dan perusahaan China justru tersandung sejumlah masalah? Proyek, yang seharusnya rampung pada 2019, baru selesai pada akhir tahun 2023 dengan sejumlah pelanggaran komitmen. Diantaranya, nilai pembangunan proyek membengkak secara tidak wajar dan dapat dipertanggungjawabkan (akuntabel). Lebih prinsip pelanggarannya, yaitu komitmen tidak menggunakan APBN dan jaminan pemerintah Terjadi pula peralihan pimpinan konsorsium BUMN dari PT. WIKA ke PT. KAI.
Pelanggaran komitmen yang awalnya non APBN (Menteri BUMN Rini Soemarno) tentulah diajukan oleh Menteri BUMN Erick Thohir dan didukung oleh Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan. Persetujuan penggunaan APBN oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani diterbitkan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 89 tahun 2023 sepengetahuan Presiden RI Joko Widodo. Artinya, ada tiga (3) pihak yang mengetahui dan bertanggung jawab atas peningkatan nilai proyek dan pelanggaran komitmen.
Lalu, tepatkah tanggung jawab pelanggaran berbagai komitmen proyek pembangunan kereta cepat "Whoosh" APBN yang dicincang? Apalagi permasalahan ini dibebankan kepada Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) dan Presiden RI 2024-2029? Jawabannya jelas tidak bisa, sebab peningkatan pembiayaan di tengah jalan (cost overrun) terjadi oleh adanya pelanggaran komitmen penggunaan non APBN untuk pembangunan proyek "Whoosh" tersebut. Semestinya, pelanggaran komitmen inilah yang terlebih dahulu harus diusut aparat penegak hukum.
(Ekonom Konstitusi)
Artikel Terkait
Sheikh Hasina Divonis Hukuman Mati: Kronologi, Dampak, dan Upaya Ekstradisi ke India
Cucun Ahmad Syamsurijal Minta Maaf, Ini Fakta Polemik Ahli Gizi yang Ramai
394 Ribu Kendaraan Diblokir Beli Pertalite & Solar Subsidi: Cek Sekarang!
Said Didu Kritik Kompolnas Soal Polisi Rangkap Jabatan: Ini Kata Hukum dan Susno Duadji