Salah Pilih Forum atau Salah Menempatkan Diri?

- Minggu, 28 September 2025 | 14:45 WIB
Salah Pilih Forum atau Salah Menempatkan Diri?


SALAH PILIH FORUM, ATAU SALAH MENEMPATKAN DIRI?


[Catatan Diskusi ILC, dengan Tema ‘Prabowo Bentuk Tim Reformasi Polri, Kapolri Melawan?]


Oleh: Ahmad Khozinudin, S.H.

Advokat


Saat penulis berdiskusi di Garuda TV dengan tema ‘Babak Baru Skripsi Jokowi dianggap Palsu. 


Jokowi: tak layani’, beberapa waktu lalu (11 Juni 2025), Irjen Pol Purn Arianto Sutadi, mengajukan komplain pada host Tysa Novenny pasca diskusi. Dia merasa, forum diskusi yang disiarkan secara live itu telah mempermalukan dirinya.


Seolah-olah, dia tidak tahu acara itu live. Dan setiap materi diskusi tidak bisa diralat, akan langsung dikonsumsi oleh publik.


Hal itu terjadi, saat Pak Arianto Sutadi membentak penulis dengan teriakan ‘DIAM!’. 


Dan teriakan itulah, yang membuat reputasi seorang penasehat Kapolri jatuh dimata publik karena tak mampu mengontrol dan mengendalikan emosi.


Sebenarnya, sebabnya sepele. Saat itu, penulis menyampaikan argumentasi rinci dan menohok atas klaim ijazah Jokowi disebut asli. 


Namun, karena gaya tutur penulis dengan suara lantang, intonasi dan kecepatan penyampaian yang nyaris sulit di interupsi, lalu Pak Arianto Sutadi memaksa memotong dengan teriakan DIAM….!


Berkaca pada kasus diatas, sebenarnya apa yang dikomplain oleh Prof Kiki (Hermawan Sulistio) yang juga Penasehat Kapolri (bidang Politik), kepada Bang Karni Ilyas (Indonesia Lawyers Club/ILC), substansinya juga sama dengan komplain Pak Arianto Sutadi. 


Klaim bahwa diskusi tidak beradab, tidak Akademik, mempertontonkan kekerasan dan menyatakan pamit dari ILC, juga tidak relevan.


Alasannya sederhana, yaitu:


Pertama, tidak ada satupun diskusi yang dikemas dalam forum live TV atau YouTube, disebut forum akademik. 


Forum akademik adalah forum ilmiah yang diadakan oleh lembaga akademik, seperti yang diadakan di kampus.


Forum diskusi TV maupun YouTube, meskipun juga tak mengesampingkan unsur akademik (ilmiah), namun forum ini adalah forum jurnalis media dan talk show, yang  menggabungkan sejumlah unsur. 


Selain ilmiah, juga ada unsur hiburan, ketertarikan, interaksi, analisis kepentingan, representasi dan mengukur opini.


Sehingga, setiap orang yang diundang dalam forum TV, semestinya sudah menyadari bahwa forum itu tak melulu forum ilmiah, narasumber tak melulu sejalan dengan pandangannya, kualifikasi dan gaya narasumber pun beragam. 


Yang berhak menghakimi forum adalah pemirsa dan Dewan Pers.


Seorang Narsum tak boleh, bahkan bisa disebut ‘lancang’ mengkritik forum tersebut, apalagi saat forum itu sedang berlangsung. 


Kalau tidak berkenan, semestinya Narsum bisa langsung mengkritik Narsum lain yang dianggapnya tak sesuai dengan value yang dia yakini.


Dalam diskusi ILC yang dipandu Karni Ilyas dua hari lalu (25/9), dugaan kuat penulis Prof Kiki tak nyaman dengan cara berargumentasi DR Rismon Sianipar (Ahli Digital Forensik), *yang mengkritik dan menguliti institusi Polri, sampai pada kesimpulan Polri tidak butuh direformasi melainkan harus dibubarkan.* 


Sejumlah kasus dari buku merah, kopi sianida, KM 50, Vina Cirebon, Tragedi Kanjuruhan hingga pembunuhan Brigadir Joshua Hutabarat dijadikan pisau bedah untuk membongkar bobrok institusi Polri.


Nah, mungkin karena Prof Kiki tak punya argumentasi untuk membantah paparan DR Rismon Sianipar, lalu mengalihkan pada kritik forum ILC. 


Prof Kiki juga takut jika mendebat DR Rismon Sianipar, akan berujung argumentum ad hominem dan akan makin mempermalukan dirinya yang juga berstatus penasehat Kapolri seperti Pak Arianto Sutadi. Jadi, ad hominem itu diarahkan pada forum ILC yang dipandu Bang Karni Ilyas.


Kedua,  jika tak ingin hadir atau sejak awal menduga kuat forum tidak fair, tidak ilmiah, tidak seimbang, atau atas alasan apapun, semestinya narasumber mengajukan keberatan untuk hadir (tidak menghadiri undangan), bukan mengajukan komplain pada penyelenggara disaat acara atau forum tersebut masih berlangsung. 


Tindakan ini, lebih tidak punya etika, tidak punya adab, bahkan mempertontonkan jumawa (kesombongan) seolah-olah hanya dirinya yang beradab dan memiliki kualifikasi/kapasitas untuk berdiskusi secara akademik.


Ini sama saja buruk muka cermin dibelah. Tak mampu mengkounter argumentasi yang mengkritik Polri, sibuk menyalahkan forum ILC.


Ketiga, kekerasan institusi Polri pada kasus buku merah, kopi sianida, KM 50, Vina Cirebon, Tragedi Kanjuruhan, hingga pembunuhan Brigadir Joshua Hutabarat lebih tidak beradab, lebih memalukan dan jauh dari budaya ketimuran, ketimbang kritik seorang DR Rismon Sianipar. 


DR Rismon Sianipar hanya ingin memperbaiki kondisi bangsa ini, termasuk institusi Polri dan mulai kehilangan asa harus dengan cara apa lagi.


Penulis kira, apatisme terhadap institusi Polri yang disuarakan DR Rismon Sianipar juga dialami publik. 


Kami, sudah sampai pada fase tak percaya apapun yang dilakukan Polri untuk memperbaiki dirinya.


Jadi, menurut Penulis ILC terus saja berkarya mencerdaskan dan menghibur publik dengan berbagai diskusi yang biasa dilakukan. 


Penulis berkeyakinan, publik juga tak akan merasa kehilangan sosok Prof Kiki jika tak hadir di ILC, namun publik tentu akan sangat kehilangan jika tayangan ILC tak lagi muncul di YouTube setelah dibungkam di saluran TV.


Komentar