Anak buah Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati akhirnya buka suara soal ramainya narasi soal guru beban negara di media sosial. Kepala Biro KLI Kemenkeu, Deni Surjantoro memastikan informasi yang beredar tersebut adalah hoaks.
"Mengenai video guru beban negara, itu hoaks," kata Deni Surjantoro saat ditemui awak media di Gedung DPR RI, Senayan Jakarta, Selasa (19/8).
Lebih lanjut, dia membeberkan bahwa narasi guru beban negara hanya beredar dari potongan video yang menampilkan seolah-olah Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan guru adalah beban negara.
Bahkan, ia memastikan bahwa potongan video yang beredar itu hanyalah sebuah editan menggunakan Artificial Intelligence (AI). "Faktanya Menteri Keuangan tidak pernah menyatakan bahwa guru adalah beban negara," bebernya.
"Video tersebut adalah hasil DeepFake dan potongan tidak utuh dari pidato Menkeu dalam Forum Konvensi Sains, Teknologi, dan Industri Indonesia di ITB pada 7 Agustus lalu," pungkas Deni.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati buka suara soal banyaknya anggapan di media sosial bahwa menjadi dosen dan guru tidak dihargai karena gajinya kecil. Menurutnya, anggapan ini pula yang menjadikan tantangan tersendiri bagi keuangan negara.
"Di media sosial saya selalu mengatakan, menjadi dosen atau menjadi guru tidak dihargai karena gajinya tidak besar. Ini juga salah satu tantangan bagi keuangan negara," kata Sri Mulyani, Rabu (7/8)
Hal itu pula yang memantik pertanyaan dasar bagi dirinya, apakah seluruh kesejahteraan dosen dan guru di tanah air harus berasal dari keuangan negara, atau justru bisa turut melibatkan partisipasi masyarakat.
"Apakah semuanya harus keuangan negara ataukah ada partisipasi dari masyarakat," imbuhnya.
Meski begitu, Sri Mulyani tidak membeberkan secara detail partisipasi masyarakat seperti apa yang dimaksudnya. Namun, dari sisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), ia menyebut selalu menyisihkan 20 persen dari belanja negara khusus untuk pendidikan.
Di sisi lain, PGRI menyesalkan pernyataan Menteri Keuangan yang menyatakan bahwa profesi guru disebut sebagai beban negara. Pernyataan itu dinilai berlebihan dan menyakitkan, mengingat fakta bahwa guru, terutama yang berstatus honorer dan mengabdi di daerah pelosok, justru menjadi garda terdepan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.
Menurut Ketua Badan Khusus Komunikasi dan Digitalisasi PGRI Wijaya, pemerataan guru di wilayah terdepan, terluar, dan tertinggal (3T) masih menjadi tantangan besar. Rasio murid dan guru secara nasional memang relatif baik di angka 16:1, tetapi distribusinya tidak merata.
“Hingga kini, banyak guru yang harus mengajar lintas mata pelajaran karena keterbatasan tenaga pendidik di pelosok,” ucap Wijaya.
Dia menjelaskan, pengabdian guru di lapangan memperlihatkan fakta berbeda dari stigma beban negara. Di Sigi, Sulawesi Tengah, guru SMPN 16 mendaki bukit dan mengunjungi rumah siswa hingga tiga kali seminggu karena ketiadaan internet dan listrik.
”Di Musi Rawas Utara, Sumatera Selatan, seorang guru honorer bernama Rudi Hartono setiap hari menyeberangi sungai dengan rakit bambu, bahkan menggendong muridnya ketika arus deras agar mereka tetap bisa bersekolah. Sementara di Lebak, Banten, Jubaedah sudah 30 tahun berjalan kaki menembus jalan hutan, meski pernah terperosok jurang, demi memastikan anak-anak di desanya tetap belajar,” tandas Wijaya.
Sumber: jawapos
Foto: Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati. (Nurul Fitriana/Jawapos)
Artikel Terkait
Atalia Praratya Unggah Pesan, Netizen Curiga Zara Anak Ridwan Kamil Pindah Agama
Tunjangan Bensin Anggota DPR Juga Naik Jadi Rp 7 Juta/Bulan, Beras Rp 12 Juta
Roy Suryo Cs Bakal Hadiri Pemeriksaan di Polda Metro Soal Laporan Jokowi
Sri Mulyani: Saya Tak Pernah Nyatakan Guru sebagai Beban Negara