Pajak Mencekik Rakyat, Muslim Arbi: Munculkan Revolusi di Berbagai Daerah

- Kamis, 14 Agustus 2025 | 20:00 WIB
Pajak Mencekik Rakyat, Muslim Arbi: Munculkan Revolusi di Berbagai Daerah


Kenaikan pajak yang dinilai memberatkan rakyat di sejumlah daerah memantik gelombang protes dan ancaman “revolusi” lokal. Pengamat politik Muslim Arbi menilai, fenomena ini bukan sekadar ketidakpuasan sesaat, melainkan akumulasi kekecewaan rakyat yang bisa memicu gerakan perlawanan masif jika pemerintah daerah dan pusat tak segera melakukan koreksi kebijakan.

“Pajak yang naiknya gila-gilaan di berbagai daerah ini memunculkan api perlawanan rakyat. Kalau dibiarkan, akan ada efek domino berupa revolusi di berbagai daerah,” ujar Muslim Arbi kepada wartawan, Kamis (14/8/2025).

Kabupaten Pati, Jawa Tengah, menjadi salah satu contoh paling menonjol. Kebijakan Bupati Sudewo yang menaikkan sejumlah pajak daerah—mulai dari pajak usaha, pajak hiburan, hingga pajak tertentu yang menyentuh masyarakat kecil—memicu kemarahan publik.

Gelombang demonstrasi pun pecah. Ribuan warga turun ke jalan, memadati Alun-Alun Pati, membawa spanduk dan poster menuntut Bupati dari Partai Gerindra itu mundur dari jabatannya. Tuntutan mereka tak hanya soal pembatalan kenaikan pajak, tapi juga evaluasi total kebijakan pemerintah daerah yang dianggap pro-elite dan anti-rakyat.

“Rakyat Pati merasa dikhianati. Mereka pilih kepala daerah untuk membela kepentingan rakyat, tapi malah diberi kebijakan yang mencekik. Ini jelas melanggar kontrak sosial,” kata Muslim Arbi.

Fenomena serupa juga terjadi di Kota Cirebon, Jawa Barat. Kenaikan pajak daerah yang meliputi pajak parkir, pajak reklame, dan retribusi pasar membuat pelaku usaha dan pedagang kecil meradang.

Saat ini, berbagai komunitas pedagang, pengusaha lokal, dan kelompok masyarakat sipil tengah menggelar konsolidasi. Informasi yang beredar menyebutkan aksi demonstrasi besar akan digelar pekan depan, dengan target menduduki Balai Kota Cirebon.

Muslim Arbi menilai, Cirebon punya potensi ledakan sosial yang besar karena basis ekonominya bergantung pada sektor perdagangan dan jasa. “Begitu roda ekonomi terganggu oleh pajak yang tidak proporsional, tekanan sosial akan membesar. Demo di Cirebon berpotensi menjadi simbol perlawanan Jawa Barat,” ujarnya.

Di Banyuwangi, Jawa Timur, penolakan terhadap kenaikan pajak juga semakin masif. Kenaikan pajak daerah dinilai memukul sektor pariwisata dan usaha mikro yang selama ini menjadi tulang punggung ekonomi lokal.

Menurut informasi lapangan, masyarakat Banyuwangi telah mengumpulkan logistik aksi, termasuk konsumsi, spanduk, dan perlengkapan demonstrasi. Gerakan ini disebut-sebut akan melibatkan lintas profesi, mulai dari nelayan, petani, hingga pelaku industri pariwisata.

“Banyuwangi ini unik, mereka punya solidaritas sosial yang kuat. Begitu ada isu yang menyentuh kepentingan hidup orang banyak, responnya cepat dan terorganisir,” kata Muslim Arbi.

Muslim Arbi menegaskan, problem utama dari gelombang penolakan ini adalah hilangnya sensitivitas pemerintah daerah terhadap kondisi ekonomi rakyat. Ia menilai kebijakan pajak yang naik di tengah daya beli yang sedang melemah merupakan bentuk ketidakpekaan yang berbahaya.

“Kebijakan fiskal daerah harus mempertimbangkan daya beli masyarakat. Kalau rakyat sedang susah, lalu dibebani pajak tinggi, sama saja pemerintah menyalakan api di ladang kering. Cepat atau lambat, itu akan terbakar,” tegasnya.

Menurutnya, jika pola ini terus berlanjut di berbagai daerah, eskalasi protes akan makin luas dan sulit dikendalikan. Ia bahkan tak menutup kemungkinan munculnya gerakan “revolusi daerah” yang bersifat spontan, tanpa komando dari pusat.

“Sejarah membuktikan, perubahan besar sering kali berawal dari persoalan ekonomi yang menekan rakyat. Pemerintah pusat harus segera turun tangan memberi arahan agar daerah tidak sembarangan menaikkan pajak. Kalau dibiarkan, kita akan melihat gelombang perlawanan yang lebih besar,” pungkasnya.

Foto: Muslim Arbi (IST)

Komentar