SERU! Adu Kuat Geng Solo vs Kertanegara
Oleh: Rokhmat Widodo
Pengamat politik dan Kader Muhammadiyah Kudus
Pertarungan politik tak selalu meledak di ruang publik. Kadang ia muncul dalam bentuk keputusan-keputusan administratif yang tampak biasa—namun sesungguhnya menyimpan bara konflik yang membakar diam-diam.
Seperti pembatalan mutasi Letjen Kunto Arief Wibowo dari jabatan strategisnya.
Kasus ini membuka tabir adanya tarik-menarik kekuasaan antara dua poros besar: Geng Solo yang berakar pada loyalitas terhadap Joko Widodo, dan Kertanegara sebagai basis kekuasaan Prabowo Subianto.
Pasca lengsernya Joko Widodo (Jokowi) dari jabatan Presiden, banyak yang memperkirakan ia akan menepi. Namun, realitas menunjukkan sebaliknya.
Jejak kekuasaannya masih berbekas kuat melalui orang-orang yang ditempatkan di posisi strategis. Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto adalah contoh nyata.
Ia adalah orang kepercayaan Jokowi, pernah menjadi Komandan Kodim di Solo saat Jokowi menjabat Wali Kota, dan melejit dalam karier militer di era Jokowi.
“Geng Solo” adalah istilah yang secara sarkastik menggambarkan jejaring kekuasaan yang dibangun oleh Jokowi dari basis sosial-politiknya di Solo. Ini bukan sekadar jejaring pertemanan, melainkan kekuatan yang terorganisir.
Beberapa tokoh sipil dan militer seperti Jenderal Agus, Menteri BUMN Erick Thohir, bahkan Gibran Rakabuming Raka sebagai Wapres, merupakan bagian dari orbit kekuasaan yang masih dikendalikan oleh mantan presiden tersebut.
Geng Solo tidak hanya membentangkan pengaruh di sektor pemerintahan sipil, tetapi juga militer dan intelijen.
Bahkan beberapa isu menyebut, Jokowi memiliki loyalis di Badan Intelijen Negara (BIN) dan struktur strategis TNI.
Maka tidak heran, mutasi Letjen Kunto—yang ayahnya, Jenderal (Purn) Try Sutrisno, berseberangan dengan Jokowi—dipersepsikan sebagai bentuk kemarahan atau balasan politik.
Sementara itu, “Kertanegara” menjadi simbol baru pusat kekuasaan. Rumah kediaman Prabowo di Jalan Kertanegara, Jakarta Selatan, telah lama menjadi titik temu strategis elit politik dan militer.
Sejak menjadi Presiden, Prabowo mulai mengonsolidasikan kekuatan baru yang berjarak dari pengaruh Jokowi.
Meski Prabowo terkesan menjaga hubungan baik dengan Jokowi dan bahkan menerima Gibran sebagai cawapres, tak sedikit yang menilai hal itu sebagai kompromi politik sementara. Dalam jangka panjang, Prabowo ingin membangun poros kekuasaannya sendiri.
Dan kasus Letjen Kunto menjadi ujian pertama sejauh mana Prabowo berani mengambil alih kendali penuh.
Kembalinya Letjen Kunto ke jabatan Pangkogabwilhan I pasca dimutasi ke Staf Khusus KSAD adalah indikator jelas.
Prabowo sedang mengirim pesan: “Aku Presiden, dan ini pemerintahanku.”
Kekuatan Kertanegara kini mulai menguat melalui loyalis lama Prabowo dari kalangan militer seperti Letjen (Purn) Sjafrie Sjamsoeddin, eks Danjen Kopassus, hingga para purnawirawan yang dulu berada di lingkaran Gerindra.
Prabowo juga mulai mengisi pos-pos penting di kementerian dengan orang-orang yang pernah bersamanya sejak awal perjuangan partai.
Letjen Kunto bukan hanya perwira tinggi biasa. Ia adalah putra dari Jenderal (Purn) Try Sutrisno, mantan Wapres dan tokoh militer berpengaruh.
Try dikenal keras terhadap Jokowi dan pernah secara terbuka mendukung Forum Prajurit Purnawirawan TNI yang menolak Gibran sebagai cawapres.
Mutasi Letjen Kunto ke staf khusus KSAD dinilai banyak pihak sebagai “hukuman politik” karena latar belakang keluarganya.
Namun Prabowo membatalkan mutasi itu. Ini bukan hanya soal posisi, melainkan simbol perebutan pengaruh di tubuh TNI.
Dalam struktur TNI, jabatan Pangkogabwilhan I sangat strategis karena mengawasi wilayah barat Indonesia yang mencakup Sumatera dan Natuna—daerah penting secara geopolitik.
Dalam kacamata analisis, pembatalan mutasi ini adalah langkah pembebasan. Prabowo menunjukkan bahwa ia tak tunduk pada tekanan Geng Solo, dan mulai menciptakan narasi politiknya sendiri.
Fenomena “dua matahari” dalam kekuasaan bukan hal baru dalam sejarah politik Indonesia. Di masa Orde Baru, kita pernah melihat dualisme kekuasaan antara Soeharto dan teknokrat/BJ Habibie.
Di era Jokowi sendiri, ada dinamika antara kelompok PDIP dan barisan relawan. Namun kini, konstelasi itu lebih tajam karena melibatkan struktur militer aktif.
Kehadiran Gibran sebagai Wakil Presiden memperumit dinamika ini. Di satu sisi, Gibran adalah putra mahkota dari Geng Solo, tapi di sisi lain, ia kini adalah orang nomor dua di pemerintahan yang dipimpin oleh tokoh berbeda—Prabowo.
Ini bisa menimbulkan ketegangan internal, terutama jika Gibran mulai mengambil langkah politik sendiri.
Prabowo berada dalam posisi sulit. Jika terlalu dekat dengan Geng Solo, ia kehilangan otoritas.
Jika terlalu frontal, bisa menciptakan instabilitas di awal pemerintahan. Namun kasus Kunto menunjukkan bahwa Prabowo mulai berani menegaskan garis politiknya sendiri.
Pertanyaannya kini: akankah Prabowo berhasil mengonsolidasikan pemerintahannya menjadi satu garis komando di bawah Kertanegara? Atau justru akan terjadi “perang dingin” berkepanjangan antara dua kutub kekuasaan?
Jika Prabowo terus memainkan kartu strategis seperti dalam kasus Letjen Kunto, maka kita akan melihat transformasi pemerintahan ke arah yang lebih tersentral.
Namun bila Geng Solo terus mengintervensi, pemerintahan ini bisa berubah menjadi panggung tarik ulur kekuasaan yang melelahkan.
Yang jelas, satu hal pasti: pemerintahan Prabowo tidak akan berjalan tenang dalam bayang-bayang Jokowi. ***
Artikel Terkait
Jadi Tersangka Vape Obat Keras, Peran Jonathan Frizzy Tak Main-Main
Forum Purnawirawan Prajurit TNI Minta Gibran Diganti, Jokowi: Boleh-boleh Saja
Tegaskan Ijazahnya Bukan Objek Penelitian, Jokowi: Dibuktikan Lewat Proses Hukum
Transparansi Informasi Publik: Peran Strategis PPID Sekretariat DPRD Provinsi Sumsel