Selain rendahnya suplai, seringkali para penyedia open BO ini juga memiliki mucikari atau germonya sendiri-sendiri. Dalam banyak kasus, germo atau mucikari ini mengambil bagian atau jatah terlalu banyak sehingga membuat tarif yang diberikan kepada pelanggan jadi lebih tinggi.
Dari segi pendidikan, tingkat pendidikan penyedia jasa open BO menurut Boy juga cukup tinggi. Hampir semua penyedia jasa open BO yang pernah dia gunakan sudah lulus SMA, bahkan beberapa ada yang merupakan mahasiswa meski tidak banyak.
“Rata-rata sudah bukan mahasiswa. Biasanya diklaim mahasiswa itu untuk menaikkan harga atau prestise. Ada yang mahasiswa, tapi bukan yang paling banyak,” kata Boy.
Direktur Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) DIY, Budhi Hermanto, mengatakan bahwa sampai saat ini pihaknya masih kesulitan untuk mendata pelaku atau penyedia jasa open BO di DIY. Pasalnya, mereka biasanya tidak menetap di Yogya, tapi berpindah-pindah dari kota ke kota lain.
Tapi memang jika dibandingkan dengan pekerja seks yang menetap atau mangkal, tarif yang ditetapkan oleh penyedia open BO relatif lebih tinggi.
“Kalau tarif untuk yang mangkal misalnya di Parangkusumo itu masih ada yang di bawah Rp 180 ribu, kalau yang open BO itu amatan sekilas kami memang rata-rata paling murah Rp 500 ribu,” kata Budhi Hermanto, Rabu (6/8).
Terkait tingginya permintaan terhadap jasa open BO di Yogya, PKBI menurutnya tidak memiliki data yang pasti.
“Tapi mungkin saja, karena Jogja ini kan banyak wisatawan, banyak juga pendatang dari luar kota,” ujarnya.
Sumber: kumparan
Artikel Terkait
Kronologi Lengkap Pembunuhan Sadis di Siak: Motif Gara-Gara Hotspot Dimatikan Mengejutkan
Siswi SMA Pesisir Selatan Melahirkan di Kelas, Terungkap Dihamili Paman Sendiri
Wakil Bupati Pidie Jaya Minta Maaf, Pukul Kepala Dapur SPPG hingga Dilaporkan BGN
Kasus Kekerasan Seksual Siswi SMK di Bone: Guru & Siswa Jadi Pelaku, Modus Silat