Analisis Hukum Kasus Ijazah Jokowi: Kebebasan Berekspresi vs Pencemaran Nama Baik
Penetapan delapan warga negara sebagai tersangka oleh Polda Metro Jaya dalam kasus tudingan ijazah palsu Presiden Joko Widodo memicu perdebatan serius tentang batas antara kebebasan berekspresi dan tindak pidana pencemaran nama baik. Kajian hukum ini menganalisis konflik antara perlindungan hak konstitusional warga negara dan pendekatan represif penegak hukum.
Konteks Kasus dan Signifikansi Konstitusional
Kasus hukum yang melibatkan Roy Suryo dan tujuh warga lainnya pada tahun 2024 terkait tudingan ijazah palsu Presiden Joko Widodo telah membuka perdebatan besar mengenai hak konstitusional warga negara di era demokrasi digital. Kepolisian Daerah Metro Jaya menetapkan delapan orang sebagai tersangka atas tuduhan penyebaran informasi palsu, pencemaran nama baik, serta manipulasi digital terhadap dokumen akademik Presiden.
Roy Suryo menyatakan bahwa tindakan tersebut adalah bentuk pelaksanaan hak konstitusional untuk memperoleh informasi publik dan melakukan penelitian terhadap dokumen kenegaraan. Sementara itu, Ketua Umum relawan Jokowi Mania, Andi Azwan, memuji langkah kepolisian sebagai bentuk profesionalisme dan tanggung jawab hukum terhadap penyebaran informasi yang dinilai menyesatkan publik.
Konflik antara Hak Konstitusional dan Pendekatan Represif
Dalam perspektif hukum normatif, tindakan penyelidikan publik terhadap dokumen kenegaraan termasuk dalam kategori pelaksanaan hak-hak konstitusional yang dijamin oleh Pasal 28C, 28D, dan 28F UUD 1945. Hak tersebut meliputi kebebasan berpikir, kebebasan berpendapat, dan hak memperoleh serta menyampaikan informasi.
Kasus ini menunjukkan bahwa penegakan hukum masih cenderung bersifat reaktif dan tidak mengindahkan prinsip proporsionalitas. Pasal 27 ayat (3) UU ITE seharusnya diterapkan dengan pertimbangan konteks, motif, dan kepentingan publik dari suatu pernyataan.
Menegakkan Supremasi Konstitusi dalam Penegakan Hukum
Solusi terhadap persoalan ini harus berangkat dari pemulihan prinsip dasar bahwa konstitusi menempati posisi tertinggi dalam tata hukum nasional. Diperlukan reinterpretasi terhadap pasal-pasal dalam UU ITE, khususnya Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 28 ayat (2), agar tidak digunakan untuk menekan kebebasan berekspresi.
Artikel Terkait
Fakta WA Group Najeela Shihab di BAP Nadiem & Proyek Laptop Rp 9,3 T Bermasalah
OTT KPK di Ponorogo: Bupati Sugiri, Sekda, dan Peran Misterius Indah Pertiwi
Mahfud MD Bantah Tegas Pernyataan Ijazah Jokowi Asli, Sebut Berita Bohong
Partai Demokrat Dukung Gus Dur & Soeharto Jadi Pahlawan Nasional, Ini Kata AHY