Sejarah Panjang Perlawanan Masyarakat Pati Terhadap Kenaikan Pajak: Dari Masa ke Masa hingga Krisis 2025

- Kamis, 14 Agustus 2025 | 12:20 WIB
Sejarah Panjang Perlawanan Masyarakat Pati Terhadap Kenaikan Pajak: Dari Masa ke Masa hingga Krisis 2025


Bumi Pati adalah tanah yang subur, yang selama berabad-abad menjadi tempat bertahan hidup ribuan keluarga petani dan masyarakat kecil yang bergantung pada hasil bumi. Namun, sejarah panjangnya juga dipenuhi dengan catatan pahit tentang penindasan dan ketidakadilan yang datang dari kenaikan pajak yang terus-menerus membebani rakyat kecil. Pajak-pajak yang dipaksakan bukanlah sarana pembangunan yang adil, melainkan alat kekuasaan yang memiskinkan dan menindas. Dari zaman kerajaan Demak hingga era modern, rakyat Pati tak pernah rela menjadi korban ketamakan penguasa dan sistem yang tidak berpihak kepada mereka.

Pada pertengahan abad ke-1500-an, ketika Kerajaan Demak berkuasa, masyarakat Pati merasakan betapa beratnya beban pajak hasil bumi yang dinaikkan secara drastis hingga 30% pada era Tombronegoro. Kenaikan yang tampak kecil dalam angka tersebut sesungguhnya adalah beban yang luar biasa bagi keluarga petani yang hidup dalam keterbatasan. Pajak itu menyita sebagian besar hasil panen mereka, membuat mereka kelaparan, dan memaksa banyak anak-anak putus sekolah karena keluarga harus berjuang untuk bertahan hidup. Suara protes pun menggema dari setiap desa di Pati, namun suara mereka sering kali ditindas dengan kekerasan. Protes itu bukan sekadar menolak pajak, tapi juga sebuah jeritan hati rakyat kecil yang ingin hidup layak.

Ketika kekuasaan Demak melemah, pada 1540-an, rakyat Pati kembali menunjukkan sikap perlawanan. Mereka menolak setoran pajak yang dipaksa naik lagi sebesar 20%, hingga akhirnya mengalihkan dukungan mereka ke Kerajaan Pajang di bawah Ki Penjawi. Ini bukan sekadar pergantian penguasa, melainkan cermin ketegasan rakyat yang tidak ingin lagi hidup di bawah sistem yang menindas. Pada masa ini, masyarakat Pati belajar bahwa mereka memiliki kekuatan untuk menentukan arah dukungan politik, asal tetap menjaga satu tujuan utama: keadilan dan kemakmuran.

Abad ke-17 menjadi masa penuh gejolak dengan munculnya Sultan Agung di Mataram yang ingin memperkuat kekuasaannya dengan menaikkan upeti beras hingga 40% pada 1620-an. Di bawah pimpinan Adipati Pragola I, rakyat Pati menolak keras kewajiban setor beras dalam jumlah besar yang makin menipiskan persediaan makanan untuk keluarga mereka. Penolakan ini tidak hanya soal pajak, tapi sebuah perjuangan mempertahankan hak hidup dan martabat. Namun, penguasa tidak tinggal diam. Pada 1627–1628, Adipati Pragola II harus menghadapi pemberontakan besar-besaran rakyat Pati akibat kenaikan pajak hingga 50%. Pemberontakan ini penuh darah dan air mata, menandai titik di mana rakyat tidak lagi mau dibodohi dan diperbudak oleh sistem pajak yang menindas.

Perlawanan rakyat Pati tidak pernah surut. Pada 1670-an, era Pragola III menghadapi kebijakan pajak yang semakin semena-mena dari Amangkurat I, dengan kenaikan pajak hingga 35%. Di bawah tekanan yang kian berat, rakyat Pati tetap teguh memegang prinsip keadilan dan menolak kebijakan yang merusak kehidupan mereka. Keteguhan ini adalah bukti nyata bahwa rakyat kecil selalu punya nyali untuk menantang ketidakadilan, walau menghadapi penguasa yang dianggap paling kuat sekalipun.

Memasuki abad ke-18, perjuangan rakyat Pati mendapatkan dimensi baru dengan kedatangan VOC yang memonopoli perdagangan dan memungut bea yang membebani hingga 25% pada 1740. Di bawah pengaruh Sunan Kuning, rakyat Pati bangkit melawan penjajahan ekonomi VOC yang semakin mencekik leher mereka. Semangat anti-kolonialisme mengalir kuat dalam darah mereka. Pada 1741–1743, rakyat Pati yang setia pada Untung Surapati mengambil langkah berani menyerbu pos-pos VOC yang memungut pajak pelabuhan melonjak 40%. Aksi ini bukan hanya perjuangan melawan pajak, tapi juga perang hidup dan mati melawan penjajahan dan eksploitasi.

Zaman kolonial Belanda menjadi masa yang paling kelam bagi rakyat Pati. Pemerintahan Daendels dan Raffles antara 1811–1816 memberlakukan kebijakan pajak tanah yang naik hingga 30%, memicu perlawanan lokal yang dipimpin tokoh seperti Ki Kromo Pati. Ketika Cultuurstelsel diberlakukan pada 1830, yang mewajibkan petani menanam komoditas tertentu untuk ekspor dengan beban setara 66% hasil panen, rakyat Pati mengalami penderitaan luar biasa. Banyak keluarga yang kelaparan, anak-anak yang kehilangan masa depan, dan kehidupan sosial yang hancur. Sebagai bentuk protes, petani melakukan mogok tanam, menolak dijadikan alat keuntungan kolonial yang kejam.

Pada 1880-an, Ki Samin Surosentiko menjadi suara pembela rakyat yang menolak sistem pajak kolonial yang memperbudak mereka. Dengan keberanian luar biasa, ia menolak dengan tegas segala bentuk pungutan yang dianggap merampas hak hidup rakyat kecil. Ini adalah babak penting dalam sejarah perlawanan moral dan spiritual rakyat Pati terhadap penindasan ekonomi.

Masa pendudukan Jepang pada 1942–1945 membawa penderitaan baru. Pemerintah pendudukan memberlakukan “pajak tenaga” berupa kerja paksa selama 60 hari setahun. Rakyat Pati kembali merasakan kejamnya penindasan yang bukan hanya menghancurkan fisik, tetapi juga menghancurkan jiwa mereka. Namun, semangat perlawanan tidak pernah padam walau dalam kondisi yang paling berat sekalipun.

Setelah Indonesia merdeka, masa perang kemerdekaan tidak bebas dari tekanan pajak dan pungutan. Pada 1948, saat Agresi Militer Belanda II, rakyat Pati menolak pajak darurat perang yang menaikkan setoran pangan hingga 20%. Meskipun dalam situasi perang yang sulit, rakyat Pati tetap mempertahankan harga diri dan semangat kemerdekaan yang membara.

Era Orde Baru pada 1965–1966 kembali menyaksikan kenaikan pajak hasil panen sebesar 15% yang memicu protes rakyat. Kebijakan stabilitas politik yang dikedepankan pemerintah sering mengorbankan kesejahteraan rakyat kecil. Rakyat Pati, dengan segala keterbatasannya, menunjukkan sikap menolak menjadi korban kebijakan yang tidak berpihak.

Gelombang reformasi 1998 membuka babak baru perjuangan rakyat Pati dalam menuntut keadilan pajak dan melawan pungutan liar yang rata-rata menyedot 10% dari harga jual hasil panen mereka. Aktivis mahasiswa dan petani bersama-sama mengangkat suara yang menuntut transparansi, akuntabilitas, dan perlakuan adil dalam sistem perpajakan.

Namun, puncak dari ketidakadilan terjadi pada tahun 2025. Kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB-P2) yang diterbitkan oleh Bupati Sudewo melonjak drastis hingga 250%! Kenaikan yang jauh melampaui batas kewajaran dan sungguh kejam bagi rakyat kecil yang selama ini hidup dari tanah dan hasil bumi mereka. Beban pajak yang demikian berat bukan hanya menghancurkan ekonomi rakyat, tetapi juga mematikan harapan dan masa depan mereka.

Sejarah mencatat bahwa bahkan penjajah Belanda yang terkenal kejam pun tidak pernah menaikkan pajak setinggi itu. Namun, rakyat Pati sekali lagi tidak tinggal diam. Mereka bangkit, berdiri tegak menolak kebijakan yang melukai dan menyengsarakan. Mereka menuntut kepemimpinan yang paham betul kondisi rakyat dan mampu mencari solusi yang manusiawi, bukan dengan menambah beban pajak yang menghancurkan.

Dari Tombronegoro hingga era Sudewo, dari kerajaan hingga pemerintahan modern, perjuangan rakyat Pati membuktikan satu hal yang tak tergoyahkan: mereka adalah bangsa pejuang yang tidak akan pernah membiarkan ketidakadilan menguasai hidup mereka. Mereka adalah simbol keberanian, kesabaran, dan semangat tak pernah padam untuk hidup layak dan bermartabat.

Pati, bumi mina tani, akan terus jaya dan sentosa selama rakyatnya berdiri dengan waras dan akal sehat, menuntut keadilan dan kesejahteraan yang sejati.

Salam perjuangan!

Oleh: Rokhmat Widodo, Pengamat politik dan penikmat sejarah

Komentar