OLEH: AHMADIE THAHA
DALAM dunia yang makin terasa seperti serial Netflix berkepanjangan ini, episode terbaru datang dari Timur Tengah: “Israel AS vs Iran: The Final Season (Maybe)”. Judulnya bombastis, tapi akhirnya malah jadi tontonan drama yang klimaksnya antiklimaks.
Israel nyerang, Iran nyerang balik, AS ikutan nyerang, terus semua bilang “Udahan yuk,” dan dunia pun kembali sibuk memesan hummus sambil memantau harga minyak dan bitcoin. Tapi mari kita kupas episode ini dengan santai, dengan tetap bersandar pada data, bukan cuma dada.
Mari kita mulai dari naskah resmi yang ditulis PM Israel Benjamin Netanyahu. Target perang katanya ada dua: "pemenggalan program nuklir Iran" dan "perubahan rezim". Tapi yang terjadi? Tidak satu pun dari dua itu yang tercapai. Ia kalah, lalu merengek bantuan dari Trump.
Yang terjadi justru sebaliknya: program nuklir Iran tetap hidup sehat wal afiat (faktanya: citra satelit menangkap bayangan puluhan truk logistik memindahkan uranium keluar dari Fordow sebelum dibom AS). Dan satu bonus: rezim malah dapat 'ashabiyah, dukungan kuat dari rakyat.
Kalau Anda pikir strategi Netanyahu itu seperti game catur 4D, ternyata itu lebih mirip main congklak pakai batu es, strateginya cair, hasilnya ngilang. Ini dipastikan oleh Ori Goldberg, analis independen dan pakar Iran, dalam artikelnya di Al Jazeera (24 Juni 2025).
Israel tampaknya percaya bahwa membunuh beberapa jenderal IRGC bisa membuat rakyat Iran beramai-ramai ganti rezim, seperti ganti channel TV. Tapi yang terjadi? Meskipun IRGC dibenci sebagian rakyat, begitu serangan luar datang, mereka malah bersatu hati.
Hasilnya: pembunuhan yang dimaksud untuk mengguncang justru memperkuat fondasi rezim. Kata seorang rakyat: “Kita mungkin tak suka pemerintah, tapi kita lebih benci diserang luar!” Bukan efek domino yang didapat, tapi pembunuhan itu malah jadi efek fondasi.
Ini seperti berharap bangunan roboh karena tiang dicat ulang. Bangunan malah makin indah. Silakan tertawa, atau cukup tersenyum, jika mau.
Israel juga membom stasiun TV IRIB, mengklaim itu pusat propaganda. Tapi alih-alih membuat wartawan Iran bisu, dunia malah melihatnya sebagai pembenaran Iran untuk mengancam balasan ke stasiun-stasiun TV Israel.
Presiden AS Donald Trump sempat membantu Israel untuk keroyokan melawan Iran dengan menjatuhkan bom ke tiga fasilitas nuklir Iran pakai MOPs (Massive Ordnance Penetrators, bukan singkatan dari "Masih Ogah Perang"). Tapi setelah selesai, pesawat bombernya langsung cabut pulang.
Ke mana? Iran mengetahuinya pulang ke pangkalan mereka di Qatar. Ini yang membuat Iran langsung menyerang mereka di Qatar, tapi dengan lebih dulu memberi tahu pihak musuh.
Ya, bagi Israel, AS itu seperti teman yang bantu pindahan, tapi cuma angkat kardus pertama lalu bilang, “Gue ada janji, bro.”
Trump memang bantu sedikit. Tapi niatnya bukan perang total, melainkan membuka pintu negosiasi baru dengan Iran. Maka Qatar (iya, Qatar yang itu-itu juga) pun tampil jadi mak comblang damai, menemui pemimpin Iran untuk menyampaikan lamaran gencatan senjata dari AS.
Ini jelas bikin Netanyahu geram hingga gigi-giginya gemeretak. Harapannya semula, setelah serangannya yang bertubi-tubi ke Iran, dunia akan bersatu mendukung Israel. Tapi kenyataannya, dunia malah sibuk nanya, “Gaza gimana, bro?”
Artikel Terkait
Yudi Purnomo Buka Suara: Harapan Besar ke Prabowo Kembalikan 51 Pegawai KPK yang Dipecat TWK
Standardisasi Dai Mendesak Pasca Kasus Gus Elham, LD PBNU Dorong Sertifikasi
Nikita Mirzani Live dari Penjara, Kuasa Hukum Beberkan Fakta yang Mengejutkan
Roy Suryo Diperiksa Polda Metro Jaya sebagai Tersangka Kasus Ijazah Jokowi