Sederhana, Ini Alasan Dedi Mulyadi Hapuskan PR Buat Siswa di Jawa Barat

- Selasa, 10 Juni 2025 | 12:10 WIB
Sederhana, Ini Alasan Dedi Mulyadi Hapuskan PR Buat Siswa di Jawa Barat

"Namun, dapat diarahkan pada kegiatan reflektif dan eksploratif melalui proyek pembelajaran yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran peserta didik terhadap keluarga, alam, dan lingkungan sekitarnya," katanya.


Selain itu, penugasan diberikan sebagai penguatan bagi peserta didik yang belum mencapai kompetensi minimal, dengan proporsi 60 persen dari durasi tatap muka, dan dioptimalkan pelaksanaannya di sekolah melalui pembelajaran remedial.


Setelah jam pembelajaran efektif, di samping kegiatan yang diarahkan sekolah, dapat juga digunakan untuk pengembangan minat dan bakat para siswa, seperti membantu orang tua di rumah serta lingkungan sekitar.


Pengembangan minat dan bakat sesuai dengan tumbuh kembang peserta didik dalam berbagai bidang, misalnya keagamaan, kesenian, teknologi, olahraga, sains, kewirausahaan, dan ekstrakurikuler untuk penguatan karakter dan kompetensi siswa.



Dinas Pendidikan Jawa Barat akan menugasi kepala cabang dinas pendidikan agar menyosialisasikan dan mendampingi pelaksanaan surat edaran tersebut pada seluruh SMA/SMK/SLB di masing-masing wilayah.


"Kepala cabang dinas pendidikan agar menugaskan pendamping satuan pendidikan untuk melaksanakan pemantauan edaran tersebut dan melaporkannya kepada kepala cabang dinas pendidikan wilayah," ucapnya.


Tanggapan Pengamat Pendidikan


Pengamat pendidikan, Doni Kusuma, mengatakan bahwa dirinya menganggap penghapusan PR siswa di sekolah Jabar adalah tindakan yang keliru.


"Menghilangkan PR menurut saya itu sebuah kekeliruan dalam pendagogi pembelajaran karena PR itu menerapkan fungsi yang berbeda," ujar Doni dikutip dari Kompas.com, Senin (9/6/2025).


Doni menjelaskan, peran atau fungsi PR adalah untuk mengulang kembali pelajaran yang diajarkan dari pagi hingga siang di sekolah.


"Setelah siswa 6 jam belajar di sekolah, supaya tidak lupa itu harus mengulang, mengulang tujuannya untuk menguatkan memori anak untuk mempelajari mata pelajaran tertentu," jelasnya.


Doni menyampaikan, jika tidak ada pengulangan atau PR, maka dikhawatirkan apa yang diajarkan dari pagi hingga siang di sekolah akan lupa di malam harinya.


Itulah mengapa idealnya PR diberikan dan dikerjakan di malam hari agar siswa bisa mengingat kembali pelajaran di sekolah.


"Jadi dampak positifnya PR itu mampu menjaga lebih lama memori ingatan," imbuhnya.


Selain itu, Doni memaparkan, tidak melihat dampak negatif dari sistem pengulangan lewat penugasan PR.


Ia menyampaikan, justru dampak negatifnya adalah jika guru tidak tahu cara memberikan PR yang tepat dan benar.


PR yang tepat dan benar adalah tugas yang berisi materi atau bab yang sudah diajarkan di sekolah.


Sehingga siswa jadi lebih mudah ingat dan memahami suatu pelajaran dengan baik, karena guru sudah menjelaskannya di sekolah.


"Kadang-kadang guru itu tidak tahu kalau PR itu ulangan, PR itu bukan berisi pelajaran yang akan dibahas di keesokan harinya, itu bukan PR namanya," kata Doni.


Menurut dia, akan jadi suatu kekeliruan jika guru justru memberikan PR yang berisi materi yang belum pernah dibahas di kelas atau sekolah.


Selain itu, Doni menyampaikan bahwa pemberian PR kepada siswa juga untuk melatih kedisiplinan dalam belajar.


"PR juga membentuk disiplin belajar, karena belajar yang baik itu harus ada pengulangannya," ucap Doni.


Pengulangan dalam proses pembelajaran ada dua jenis, yakni pemberian PR dan ulangan harian atau ulangan mingguan.


PR merupakan pengulangan jangka pendek atau yang membahas materi-materi yang baru-baru ini dipelajari.


Ulangan harian atau ujian merupakan pengulangan jangka panjang atau yang membahas materi-materi keseluruhan agar siswa lebih matang dalam memahami materi.


Selain itu, Doni juga menyoroti nilai kejujuran dalam pemberian PR.


Menurut dia, PR membentuk tanggung jawab, disiplin, dan kejujuran.


Akan jadi sia-sia jika PR dikerjakan oleh orangtua.


"Nah selama ini kan yang mengerjakan PR anak adalah orangtuanya, berarti orangtuanya yang keliru," ujar Doni.


"Bila orangtuanya yang keliru, lalu kenapa PR-nya yang dihapus," kata dia.


Ia juga menyampaikan, jika anak tidak paham arti kejujuran dalam pemberian PR, murid itu akan mengerjakan PR dengan menyontek teman atau meminta orangtua yang menyelesaikannya.


"Justru di sinilah kejujuran dan kedisiplinan itu diuji," imbuhnya.


Apakah Pendidikan Kita Siap?


Di sisi lain, pengamat pendidikan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jejen Musfah menyampaikan, sekolah di Indonesia, termasuk di Jabar, belum siap dengan dihapuskannya PR dari sekolah.


Jejen menjelaskan, hal itu dikarenakan siswa yang ada di kelas memiliki jumlah yang cukup besar dan cenderung penguasaan materi belum tuntas.


"Belum siap karena sekolah negeri kelasnya besar atau siswanya banyak," ujar Jejen saat dihubungi pada Senin (9/6/2025). 


"Guru kita juga harus memastikan penguasaan materi tuntas di kelas, sementara jam belajar siswa sangat terbatas," lanjut dia.


Selain itu, Jejen menambahkan, fasilitas belajar dan ruang kelas juga masih sangat tidak ideal.


Ini pun didukung dengan beberapa rumah yang  tidak ideal untuk siswa belajar dengan nyaman


Sumber: Wartakota 

Halaman:

Komentar