OLEH: RILDA A OELANGAN TANEKO
INDONESIA memiliki kepemimpinan baru. Pada Minggu, 20 Oktober 2024, Prabowo Subianto dilantik sebagai Presiden Republik Indonesia yang ke delapan dan Gibran Rakabuming Raka sebagai Wakil Presiden. Pelantikan ini disambut dengan demonstrasi di berbagai daerah, salah satunya di Yogyakarta.
Gabungan elemen masyarakat dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Muhammadiyah Yogya (UMY), Universitas Sanata Dharma dan perkumpulan aktivis Forum Cik Ditiro menyuarakan keresahan mereka, terutama terkait mundurnya indeks demokrasi Indonesia.
Dikutip dari wawancara Kompas per tanggal yang sama, Koordinator Lapangan Aksi Parade, Sirillus Maximilian, menyampaikan beberapa catatan kritis terhadap pemerintahan presiden sebelumnya, Joko Widodo, yang tak lain dan tak bukan adalah ayah kandung dari Wapres yang baru dilantik, antara lain mengenai praktik nepotisme dan pengkhianatan terhadap demokrasi.
“Banyak keluarga Jokowi masuk ke pemerintahan, harapannya tidak dilanjutkan oleh Presiden terpilih Prabowo,” ujarnya.
Jokowi yang dulu pernah dianggap rakyat Indonesia sebagai ‘The New Hope’, harapan baru bagi Indonesia, karena berasal dari luar dinasti politik dan membangun imej sebagai pemimpin yang merakyat, nyatanya telah menjelma menjadi dinasti yang lain, bahkan banyak pengamat menilai kepemimpinannya lebih buruk dari dinasti-dinasti sebelumnya.
Demonstrasi-demonstrasi anti-Jokowi dan keluarganya ini terus berlanjut, salah satunya lewat yel-yel dari gubahan lagu ‘Menanam Jagung’ yang menjadi viral di seluruh daerah: ‘Ganyang Fufufafa’. Namun, tampaknya harapan masyarakat pada pemerintah yang baru untuk tegas mengadili Jokowi dan memutus rantai nepotisme pupus di acara HUT ke-17 Partai Gerindra di Sentul, Sabtu, 15 Februari 2025.
Alih-alih menunjukkan keberpihakan pada tuntutan rakyat dan meneriakkan ujaran ‘Hidup Rakyat!’, Prabowo memilih untuk menunjukkan kesetiaannya pada Jokowi. ‘Hidup Jokowi!’ pekik Prabowo, dan ini disambut oleh kader Partai Gerindra dengan nyanyian ‘terima kasih Jokowi’.
Gelombang demonstrasi makin membesar dan bergulir tagar Indonesia Gelap. Berhari-hari massa aksi memenuhi jalan-jalan di banyak kota, antara lain Jakarta, Yogyakarta, Medan, Palembang, Lampung, Bandung, Salatiga, Surabaya, Makassar, Mataram dan berbagai kota di Papua.
Elemen mahasiswa dan pelajar dari berbagai daerah bergerak menyuarakan kegelisahan rakyat. Tidak hanya satu atau dua masalah yang mendera kehidupan rakyat.
Tuntutan rakyat mulai dari adili Jokowi, evaluasi naiknya pajak, evaluasi efisiensi dana anggaran yang tajam ke bawah, merampingkan kabinet yang gemuk, hapus korupsi besar-besaran dan tegakkan supremasi hukum, hapus fasilitas VIP pejabat yang merugikan publik, evaluasi program makan bergizi gratis yang tidak tepat sasaran, cegah maraknya PHK massal, penjelasan nasib IKN dan food estate, cegah maraknya judi online, sikapi antrean beli gas, menambah lapangan kerja, hapus diskriminasi fisik dan umur pelamar kerja, hentikan penggusuran rumah rakyat dan masyarakat adat, usut kasus pagar laut, usut praktik oplosan bensin, evaluasi Danantara dan masih banyak lagi segudang masalah lain.
Selain Indonesia Gelap, mencuat juga tagar Kabur Aja Dulu sebagai respons kekecewaan rakyat pada banyaknya masalah di Indonesia. Namun, respons rakyat ini direspons balik oleh presiden dan beberapa pejabat pemerintahan dengan perkataan seperti ‘ndasmu’, ‘kau yang gelap, bukan Indonesia …’ dan ‘kabur sajalah, kalau perlu jangan balik lagi.’
Tulisan singkat ini mencoba memahami gerakan Indonesia Gelap dan Kabur Aja Dulu dari sisi strategi resistensi (strategies of resistance) dan mengurai kaitannya dengan kewajiban kepemimpinan etis.
Pilihan Strategi Resistensi
Prof David Collinson, pendiri kajian Critical Leadership Studies (CLS), dalam jurnal Strategies of Resistance: power, knowledge and subjectivity in the workplace dan bab di buku Resistance and Power in Organizations, membagi strategi resistensi menjadi dua, yaitu resistance through distance (resistensi melalui jarak) dan resistance through persistence (resistensi melalui kegigihan).
Menurut beliau, kedua strategi perlawanan ini kadang saling berkait dan saling melengkapi.
Secara gampang, gerakan Kabur Aja Dulu bisa dikategorikan dalam resistance through distance, karena keputusan individu atau kelompok untuk lari, mengambil jarak dan menghindar dari tekanan kekuasaan. Pilihan strategi resistensi melalui jarak ini biasanya diambil karena kekecewaan yang teramat dalam dan tidak adanya kejelasan informasi dan aturan untuk bisa terus berada di dalam organisasi atau negara dan melawan.
Di negara yang peraturan hukumnya bisa diubah sesuai kepentingan penguasa, bertahan di dalam dan melawan kekuasaan memang menjadi amat sulit dan memerlukan kegigihan yang besar. Perlawanan melalui kegigihan ini yang kemudian disebut dengan resistance through persistence dan contoh gampangnya adalah demonstrasi Indonesia Gelap.
Mahasiswa dan pelajar yang terus bergerak dan bersuara-berteriak untuk Indonesia yang lebih baik, berhari-hari, di bawah terik dan hujan, adalah wujud nyata dari perjuangan dan perlawanan melalui kegigihan. Mereka terus menuntut akuntabilitas, memonitor praktik dan penerapan kebijakan, juga berani mempertanyakan dan menantang proses pengambilan kebijakan oleh pemerintah.
Lebih lanjut lagi, resistance through persistence bisa kembali dibagi menjadi dua, yaitu internal dan eksternal. Perlawanan melalui kegigihan bisa dilakukan dari dalam negara atau organisasi, maupun dari luar.
Dalam konteks ini, selain sebagai resistensi melalui jarak, gerakan Kabur Aja Dulu bisa juga dikategorikan sebagai strategi awal perlawanan melalui kegigihan dari luar atau eksternal. Individu-individu atau kelompok yang memutuskan untuk meninggalkan Indonesia bisa kembali bergabung dengan gerakan kolektif yang berjuang dari luar.
Kelompok-kelompok diaspora dan Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) di luar negeri, misalnya, bukan hanya diam menyaksikan segala permasalahan yang terjadi di Tanah Air. Berbagai diskusi dan aksi digelar di berbagai negara untuk mencermati dan menganalisis berbagai skandal yang terjadi di Indonesia. Tak sedikit juga yang kemudian bersuara di berbagai media sosial mereka.
Misalnya saja, PPI-United Kingdom yang menggelar sarasehan suara mahasiswa Indonesia di UK pada 21 Februari lalu. Dari forum ini, lahir pernyataan sikap dengan dua belas poin tuntutan, di antaranya meminta pemerintah mengevaluasi ‘efisiensi anggaran’, mengevaluasi program makan bergizi gratis, mengkaji ulang pembentukan Danantara, merampingkan kabinet merah-putih dan seterusnya.
Gerakan kolektif masyarakat sipil di luar negeri mampu turut menekan pemerintah untuk menindaklanjuti tuntutan masyarakat yang berada di dalam negeri, apalagi jika ini menyangkut citra dan imej negara di mata dunia internasional.
Tambahan lagi, kadang ada situasi-situasi yang memungkinkan perlawanan dari luar menjadi lebih efektif. Prof David Collinson mencontohkan kasus perjuangan oposisi Navalny melawan Kremlin yang malah menemui akhir tragis ketika ia memutuskan untuk kembali ke Rusia.
Saat penulis berbincang dengan Prof David Collinson mengenai strategi resistensi ini, beliau juga menekankan beberapa hal yang perlu digarisbawahi, yaitu kedua resistensi, baik melalui jarak dan melalui kegigihan, internal maupun eksternal, bukan hanya bergantung pada keberadaan fisik semata, namun juga perlawanan secara simbolik dan psikologis.
Secara simbolik, misalnya melalui bahasa, perlawanan bisa dilakukan dengan tulisan dan atau mengkritisi penggunaan kosa kata yang mungkin melanggengkan ketimpangan relasi kuasa, sekadar untuk menyebut beberapa contoh: pertama, penyebutan kata ‘istana’ untuk kediaman dan kantor presiden bisa dianggap tidak mencerminkan semangat negara republik yang berkedaulatan rakyat dan egaliter.
Kedua, penyebutan sumber uang negara sebagai ‘dana dari pemerintah’ dan bukan ‘uang pajak rakyat (tax payer money)’ dianggap melanggengkan relasi kuasa negara atas rakyat dan bisa dianggap tidak mencerminkan semangat demokrasi, juga mereduksi akuntabilitas dan pertanggungjawaban pemerintah pada rakyat.
 
                         
                                 
                                             
                                             
                                             
                                                 
                                                 
                                                 
                                                 
                                                 
                                                
Artikel Terkait
Perampok dari Lampung Dihajar Massa Usai Gasak Perhiasan Nenek 75 Tahun di Brebes
3 Jalur Alternatif Bengkulu ke Padang 2024: Rute Tercepat & Paling Aman
KPK Percepat Penyelidikan Korupsi Kereta Cepat Whoosh, Imbau Pihak Terkait Kooperatif
Tanggul Jebol di Pondok Kacang Prima Tangsel, 180 KK Terdampak Banjir