Secara psikologis, seseorang bisa saja secara fisik tetap berada di satu organisasi atau negara namun menutup diri dan memilih untuk tidak peduli, sementara ada orang yang berada di luar organisasi atau negara tersebut namun terus kritis dan melakukan aksi protes terhadap praktik dan kebijakan organisasi atau negara tersebut.
Contoh dari refleksi pengalaman penulis selama hidup di Indonesia dan di Eropa, ada individu-individu yang berada di Indonesia namun sudah apatis dan tak peduli lagi dengan apa pun yang terjadi, dan ada juga individu atau kelompok diaspora dan eksil Indonesia di Eropa yang mendedikasikan hidup dan jiwa mereka hanya untuk memikirkan Indonesia.
Di mana pun seseorang berada, baik di dalam negeri mau pun di luar, memilih menjadi apatis dan tidak peduli pada praktik dan kebijakan pemerintah adalah juga bentuk perlawanan melalui jarak, namun hal ini bisa kontra-produktif dengan perjuangan demokrasi karena sikap apatis hanya akan memperkuat legitimasi kontrol yang hierarkis, tidak menantang sikap pemerintah yang tidak berpihak pada rakyat, dan meningkatkan risiko masyarakat untuk lebih rentan pada pendisiplinan dan represi kekuasaan.
Serupa dengan peringatan yang diberikan seorang filsuf Yunani, Plato, bahwa ‘harga yang harus dibayar oleh orang-orang baik karena ketidakpedulian mereka dengan urusan publik adalah mereka akan diperintah oleh orang-orang jahat’.
Kewajiban Kepemimpinan Etis
Studi kepemimpinan bisa dibagi menjadi tiga pendekatan besar yaitu heroik, pos-heroik dan kritikal. Pendekatan heroik lebih terfokus pada sosok pemimpin (leader-centred), meromantisasi pemimpin dan kepemimpinan satu orang, dan kerap melihat pemimpin sebagai sosok sempurna tanpa cela, penyelamat bagi semua umat dan memiliki super-power untuk menyelesaikan segala masalah.
Perspektif pos-heroik tidak lagi melihat pemimpin sebagai super-hero namun lebih menekankan pada kepemimpinan kolektif dan pembagian kekuasaan. Namun, pandangan ini kerap terbagi menjadi dua kutub: satu, melihat semua orang sebagai pemimpin hingga memberi ruang yang kecil untuk peran pengikut (followership) dan dua, meromantisasi followership dan resistensi hingga memberi ruang yang sempit untuk kepemimpinan (leadership).
Pendekatan kritikal hadir untuk membangun dialog antara dua pendekatan arus utama di atas. Critical Leadership Studies (CLS) melihat kepemimpinan sebagai proses dinamika kekuasaan antara pemimpin dan pengikut. Pendekatan ini melihat leaders (pemimpin) dan followers (pengikut) sebagai dua bagian aktif dan tak terpisahkan dalam dinamika kekuasaan.
Pemimpin tidak akan pernah menjadi pemimpin tanpa pengikut. Pemimpin pun kadang tak pernah lepas dari peran gandanya sebagai pengikut. Kerap kali, pemimpin yang baik adalah juga pengikut yang baik. Pengikut bukanlah sosok pasif seperti kerbau dicucuk hidung, namun agen perubahan dan kebijakan yang memiliki pengetahuan dan kekuasaan.
Bahkan beberapa penelitian membuktikan adanya masyarakat indigenous tanpa pemimpin dan hierarki (acephalous/headless societies). Kebanyakan, menemukan masyarakat yang mewakilkan kepemimpinan kelompok mereka pada anggota kelompok secara bergilir tanpa membiarkan wakil mereka tersebut berkuasa atas mereka.
Selain dinamika leaders-followers, pendekatan CLS ini juga melihat dinamika kekuasaan dan saling-silang (intersectionality) lapisan identitas, seperti kelas, ras, gender dan sebagainya.
Dalam sistem demokrasi yang berarti pemerintahan rakyat, sesungguhnya kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat, dan dijalankan langsung oleh rakyat atau wakil-wakil yang mereka pilih dalam sistem pemilihan bebas. Namun, apa yang terjadi jika realitas yang ada malah sebaliknya, ketika pemimpin dan pejabat malah dengan arogan menunjukkan kekuasaan di atas rakyat?
Secara alami maka perlawanan rakyat akan hadir. Sesungguhnya dialektika kekuasaan dan perlawanan, kepemimpinan dan resistensi, adalah seperti dua sisi mata uang. Seorang filsuf Prancis, Michel Foucault, mengatakan: ‘di mana ada kekuasaan, maka di situ ada perlawanan, dan sebaliknya, atau lebih tepatnya, perlawanan ini tidak pernah berada dalam posisi eksterioritas dalam kaitannya dengan kekuasaan’.
Dalam konteks bernegara, pendekatan CLS melihat perlawanan atau resistensi dari rakyat sebagai wujud rasional guna mengekspresikan rasa ketidakadilan, kesadaran terhadap korupsi, melihat kesenjangan antara kebijakan dan perilaku politik dan sebagainya.
Resistensi umumnya hadir ketika rakyat merasa negara sedang dalam keadaan tidak baik-baik saja. Tak jarang, perlawanan besar lahir ketika keadaan sedang genting dan krisis terjadi. Meski begitu, Prof David Collinson menggarisbawahi bahwa resistensi ada karena rakyat memiliki harapan untuk perubahan.
Harapan untuk negara menjadi lebih baik ini-lah yang menjadi nyala perlawanan masyarakat sipil. Respons pemerintah hendaknya bijak, tidak melihat resistensi sebagai hal yang buruk dan harus dibasmi, juga mampu menjawab keresahan dan harapan rakyat dengan kembali pada dasar-dasar negara, menegakkan perundang-undangan, supremasi hukum, memberikan kepastian politik dan menjunjung nilai kemanusiaan.
Resistensi hendaknya dilihat sebagai kekuatan bersama untuk perubahan ke arah yang lebih baik. Meski filsuf Italia, Antonio Gramsci, pernah mengatakan bahwa masyarakat sipil di Barat memiliki kekuatan dan ketahanan jika berhadapan dengan kekuasaan negara, sementara masyarakat sipil di Timur bersifat gelatinous ?"seperti jeli yang lembek dan hancur sekali pukul, penulis melihat analisa ini tidak sepenuhnya benar.
Nyatanya Indonesia pernah membuktikan pada saat Reformasi 1998 bahwa kekuatan rakyat sipil mampu merobohkan kekuasaan militeristis yang telah mengakar selama puluhan tahun di Indonesia.
Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa kepemimpinan yang cocok untuk sistem demokrasi adalah servant leadership?"kepemimpinan yang melayani masyarakat. Hingganya pegawai negeri sipil atau PNS disebut juga sebagai civil servant. Salah satu ciri kepemimpinan ini adalah mendahulukan kepentingan bersama daripada kepentingan pribadi dan kelompok.
Ahli kepemimpinan etis, Prof David Knights dan Majella O’Leary, dalam tulisan mereka Leadership, Ethics and Responsibility to the Other, mengutarakan bahwa krisis kepemimpinan kerap bersumber pada individualisme dan ini terwujud dalam sikap pemimpin yang sibuk memikirkan dan mementingkan diri sendiri (preoccupied with the self).
Alih-alih memiliki tanggung jawab dan memikirkan rakyat, individualisme membuat pemimpin memiliki kekhawatiran yang teramat besar akan imej dan citra dirinya sendiri dan ingin mendapat konfirmasi dari orang lain atas imej tersebut. Hal ini bisa berakhir hanya pada pencapaian materi dan kesuksesan semu semata.
Konsep individualisme lahir dan berkembang dari peradaban modern Eropa yang disebut dengan ‘zaman pencerahan’ (the Age of Enlightenment, 1685-1815). Sementara masa peradaban pre-modern tidak mengenal konsep individualisme.
Pada masa pre-modern, tidak ada pemisahan yang tegas antara individu dan masyarakat. Setiap perilaku individu tidak hanya diperuntukkan bagi kepentingan diri sendiri, namun sebagai refleksi dari arti keberadaan dan perannya sebagai anggota dalam masyarakat di mana dia berada.
Karenanya, Prof David Knights dan Majella O’Leary menekankan pentingnya kepemimpinan yang tidak sibuk memikirkan diri sendiri (preoccupied with the self). Pemimpin yang sibuk dengan diri sendiri hendaknya beralih menjadi pemimpin yang memiliki tanggung jawab pada yang lain (responsibility to the other).
Konsep the other (yang lain) di sini menjadi bagian di luar the self atau diri kita sendiri dan keberadaan yang lain mencetuskan wacana yang hadir sejak awal peradaban manusia, yaitu mengenai kata kewajiban. Kewajiban terhadap sesama ini transendental mengantarkan manusia pada sumber yang hakiki yaitu pada kekuasaan Tuhan.
Dalam konteks yang lain dan bernegara, rakyat bisa memanggil pemimpin dengan menyuarakan aspirasi mereka dengan berbagai cara, misalnya berdemonstrasi, menciptakan gerakan massa Indonesia Gelap dan Kabur Aja Dulu, mengingatkan pemerintah untuk melihat panjangnya antrean ibu-ibu untuk membeli kebutuhan pokok seperti gas, dan sebagainya, namun sesungguhnya keberadaan rakyat sebagai rakyat saja seharusnya sudah cukup untuk para pemimpin melepas jubah kebesaran akan diri sendiri, keluarga dan kelompok masing-masing, dan melebur dalam kewajiban mereka sebagai wakil dari masyarakat dan sebagai makhluk ciptaan Tuhan.
Menurut Prof David Knights dan Majella O’Leary, sesungguhnya kepemimpinan adalah kemampuan seseorang untuk mendefinisikan realitas dan situasi yang mengekspresikan imajinasi, identitas dan kepentingan masyarakatnya.
Tambahan lagi, menurut mereka, dengan memikirkan orang lain, kita akan menemukan arti tanggung jawab dan kemerdekaan yang hakiki.
(Penulis adalah Novelis Indonesia Peraih Krakatau Award)
Artikel Terkait
KPK Selidiki Proyek Whoosh KCJB: Jokowi dan Para Menteri Bisa Dipanggil
Arab Saudi Cetak Rekor 4 Juta Visa Umrah dalam 5 Bulan, Begini Aturan Barunya
Nanang Gimbal Dituntut 15 Tahun Penjara, Ini Kronologi Pembunuhan Sandy Permana
SIM Keliling Bandung Hari Ini 2025: Lokasi, Syarat & Biaya Perpanjangan