Anies Disentil Menag

- Jumat, 08 September 2023 | 17:01 WIB
Anies Disentil Menag


Sesungguhnya, diksi yang dipakai Burhanuddin sebagai ‘politik identitas’ itu sangat halus. Saking halusnya, sampai warga awam gagal paham. Alias bingung.


Terhadap istilah ‘politik identitas’. Yang cuma bisa dipahami sarjana ilmu politik, setidaknya sarjana strata satu. Yang jumlah sarjana strata satu (semua program studi) di Indonesia cuma 0,7 persen populasi.


Gampangnya adalah, memainkan kampanye politik menggunakan hal-hal terkait agama Islam. Sehingga disimpulkan Gus Yaqut sebagai 'pemecah-belah umat’.


Juga disimpulkan Prof Mahfud sebagai ‘sangat panas’. Tapi Umat Islam tidak sampai pecah, dalam arti perang saudara. Cuma pecah tipis-tipis, alias retak rambut. Di lapangan terjadi perang bacot: Cebong dan Kampret.


Kalau istilah ‘politik identitas’, adalah istilah internasional. Dipakai di Amerika Serikat pada 1970.


Howard J. Wiarda dalam bukunya berjudul “Political Culture, Political Science, and Identity Politics: An Uneasy Alliance” (2016) menyebutkan, istilah itu pertama kali dipakai di AS pada 1970.


Dipakai dan berkembang pada puncaknya 1977. Dipakai kelompok sosialis feminis kulit hitam di AS, Combahee River Collective, pada April 1977.


Howard J. Wiarda adalah Profesor Hubungan Internasional dan Kepala Pendiri Departemen Urusan Internasional di University of Georgia, AS. Bukunya itu hasil riset di AS.


Pernyataan Combahee River Collective, sangat terkenal di AS hingga kini. Pernyataan itu dalam kalimat panjang. Dikutip Prof Wiarda di buku tersebut, begini:


“Sebagai anak-anak, kami menyadari bahwa kami berbeda dari anak laki-laki dan bahwa kami diperlakukan berbeda. Misalnya, ketika kami disuruh untuk diam dalam waktu yang sama, baik demi menjadi 'anggun' maupun untuk membuat kami tidak terlalu keberatan di mata orang kulit putih.”


Dilanjut: “Dalam proses peningkatan kesadaran, yang sebenarnya adalah berbagi kehidupan. Kami mulai menyadari kesamaan pengalaman kami dan, dari berbagi dan menumbuhkan kesadaran, membangun sebuah politik yang akan mengubah hidup kami, dan mengakhiri penindasan yang kami alami.”


Intinya, warga kulit hitam AS berontak dari penindasan warga kulit putih. Dalam sejarah, warga kulit hitam di sana pernah jadi budak yang diperdagangkan warga kulit putih.


Maka, istilah ‘politik identitas’ awalnya muncul di AS sebagai upaya pemberontakan kaum kulit hitam terhadap penindasan warga kulit putih. Warga kulit hitam menggalang massa sesama warga kulit hitam, melawan warga kulit putih.


Tapi politik identitas di sana sudah selesai, jauh sebelum Barack Obama jadi Presiden AS, 2009. Obama simbol minoritas kulit hitam di AS yang jadi Presiden AS dua periode.


Jadi, dalam penggunaan asalnya, istilah ‘politik identitas’ digunakan oleh kelompok warga minoritas yang ditindas oleh warga mayoritas. Itu bersumber dari lahirnya kelompok rahasia warga kulit putih, Ku Klux Klan (KKK) di Pulaski, Tennessee, AS, 24 Desember 1865. KKK, asli, membantai ratusan ribu warga kulit hitam.


Maka, penggunaan istilah ‘politik identitas’ di Pilkada DKI Jakarta 2017, juga di kampanye Pemilu 2019, membingungkan. Bukan saja bagi warga awam, melainkan juga bagi pemerhati sejarah ilmu politik.


Tapi, sudahlah… itu cuma istilah. Yang penting orang paham, apa yang dimaksud Gus Yaqut dan Burhanuddin. Dan, pernyataan taktik tektok mereka, pastinya mengingatkan masyarakat tentang aneka peristiwa di Jakarta pada 2017 dan 2019. Itu merugikan Anies Baswedan.


Hebatnya, Yaqut tidak bisa dipolisikan, karena ia tidak menyebut nama orang yang diserang. Sedangkan, Burhanuddin juga tidak bisa dipolisikan, sebab ia cuma menafsirkan maksud kalimat Yaqut. Bukan Burhanuddin yang memulai.


Sebaliknya, Anies tidak bisa mempolisikan dua tokoh itu, sebab mereka tidak menghina. Juga bukan ujaran kebencian. Seandainya diarahkan ke tuduhan ‘kebohongan publik’, ya harus dibuktikan bahwa ucapan duo tokoh itu bohong.


Alhasil, percikan Yaqut-Burhanuddin tidak bakal menghangatkan situasi kondisi jelang Pemilu 2024. Sikon tetap aman terkendali. (*)

Halaman:

Komentar