Wajah Asli Belanda Menolak Percaya Indonesia Bisa Merdeka

- Selasa, 19 Agustus 2025 | 17:05 WIB
Wajah Asli Belanda Menolak Percaya Indonesia Bisa Merdeka



'Wajah Asli Belanda' Menolak Percaya Indonesia Bisa Merdeka


Delapan puluh tahun Indonesia merdeka. Namun 80 tahun silam, Belanda yang pernah menjajah Indonesia selama 142 tahun, tidak siap dengan kenyataan ini. Mereka menolak hadirnya negara baru bernama Indonesia. 


Strategi kembali ke Indonesia telah mereka susun, ketika memindahkan eksterniran yang berasal dari PKI, PNI, PNI Baru, PSII, PERMI dan lainnya dari Boven Digoel menuju Cowra Australia. Namun, dunia tidak diam. Dukungan terhadap kemerdekaan Indonesia pun terus mengalir, termasuk dari Muslim Rusia.


Rencana kembalinya Belanda ke Indonesia, telah terendus oleh tangan kanannya Tan Malaka yang bernama Djamaluddin Tamim. Ia bersama Muhammad Ali menolak keras, usaha dari birokrat Belanda Charles Olke van der Plas untuk memindahkan tahanan politik Digoel ke Australia. Tamim dalam manuskripnya, hanya menyetujui interniran dipindahkan saja ke Merauke.


Setelah Djamaluddin dan Ali dipanggil Van der Plas, berturut-turut dipanggil Soedjono (pimpinan PKI 1924 sampai 1926), Haji Jalaluddin Thaib (pengurus PERMI), Burhanuddin tangan kanannya Hatta, Sjahrir di PNI Baru, serta dr Woworuntu, yang baru saja kembali dari Moskow pada Maret 1928.


Keempat tokoh yang dipanggil Van der Plas itu menunjukkan gelagat aneh. Bahkan, mereka beberapa kali melakukan perundingan istimewa di kediaman Controleur Digoel. Mereka berunding dengan Wedana Soenger, Controleur Digoel  dan Van der Plas. 


Realisasi pembicaraan empat orang tadi dengan petinggi Belanda, tersiar ketika membentuk organ baru. Pemerintah Hindia Belanda pelarian di Australia, yang dikepalai oleh Van Mook dan Van Der Plas bersama kompatriot Soedjono, Djalaluddin Thaib, dan Burhanuddin membentuk Serikat Indonesia baru, atau yang diakronimkan menjadi SIBAR (Poeze, 2014).


Keberadaan dari organ ini, menjadi tanda tanya besar bagi Djamaluddin Tamim. Pertama, lewat SIBAR Mereka menolak atau tidak mengakui Republik Indonesia merdeka Setelah Proklamasi 17 Agustus 1945. Kedua, mereka menuduh Soekarno dan Hatta kolaborator atau penjahat perang, dan akan pulang ke Indonesia, kembali bersama-sama Van Mook dan Van der Plas untuk mendirikan Negara Indonesia baru.Tidak seperti Hindia Belanda dulu lagi, tetapi Indonesia Belanda kerjasama yang lebih erat lagi dan sebagainya (Tamim, 1964).


Kepongahan dari pejabat Administrasi Sipil Hindia Belanda itu ditunjukkan saat konferensi pers di Singapura. Di depan awak media, dengan sombongnya ia berkata, “Saya tidak mengakui republik yang disebut-sebut, maupun Soekarno sendiri. Jika saya meminta Soekarno untuk datang menemui saya sebelum pendudukan, hal itu akan berarti pengakuan resmi.” Bahkan Van der Plas, menuduh Bung Karno sebagai penjahat perang dan dapat diadili melalui sebuah komisi. Ia mengklaim enam tokoh terkemuka Indonesia telah menanggapi seruan politiknya untuk datang dan berbicara dengannya (De waarheid, 3 Oktober 1945).


Penolakan terhadap kemerdekaan Indonesia, juga datang dari Laksamana Helfrich, komandan pasukan Belanda di Hindia Timur. Ia ditugaskan mewakili pemerintah Belanda pada saat penyerahan Jepang di Teluk Tokyo. Kepada Associated Press di Batavia pada hari Rabu, Helfrich dengan arogannya berkata, “Dari sudut pandang strategis, apa yang disebut sebagai Indonesia merdeka akan menjadi ancaman konstan terhadap perdamaian di Samudra Hindia. Indonesia tidak memiliki cara untuk mempertahankan diri” (Nieuwe Haarlemsche Courant, 3 Desember 1945)


Tidak saja menolak, ia mengklaim pembentukan Indonesia sebagai negara merdeka adalah sesuatu yang salah. Lebih lanjut Helfrich dengan pongahnya berkata, “Orang Indonesia tidak mampu mengelola negara yang rumit ini. Mereka tidak memiliki pengalaman dan modal serta sumber daya teknis. Siapapun yang berpikir bahwa Indonesia akan membentuk sebuah negara merdeka adalah salah, karena 137 suku dan kelompok masyarakat yang berbeda akan saling berperang satu sama lain.”. 


Bahkan pencaplokan wilayah Indonesia yang telah berdaulat menurutnya adalah sesuatu yang wajar. “Belanda hanya mencoba untuk mendapatkan kembali barang-barang mereka yang telah dicuri oleh orang Indonesia” – katanya menutup keterangannya pada Associated Press (Nieuwe Haarlemsche Courant, 3 Desember 1945)


Perlawanan Bung Karno, Bung Hatta, Sutan Sjahrir dan Tan Malaka...


Keengganan Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia pun mendapat respon keras dari  kwartet Soekarno, Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, serta Tan Malaka. Bung Karno dalam editorialnya untuk majalah Kebebasan, menulis bahwa ia menolak untuk berunding dengan Belanda. Bung Karno mengancam akan melawan, jika Belanda mengancam kedaulatan dan kemerdekaan Indonesia.


“Kami hanya mengikuti satu garis tindakan, yaitu mendapatkan pengakuan penuh dari seluruh dunia mengenai kemerdekaan Indonesia. Jika Belanda menyerang kedaulatan Indonesia, kami akan melawan mereka. Tetapi kami lebih memilih solusi damai (Nieuwe provinciale Groninger courant, 3 Oktober 1945).


Dalam kesempatan lain, Wakil Presiden Mohammad Hatta menegaskan bahwa ia menginginkan supaya Indonesia segera terbebas dari dominasi asing, setelah diproklamasikannya kemerdekaanya. Hatta menegaskan, bahwa kemerdekaan Indonesia adalah bebas dari segala bentuk dominasi asing. Senada dengan Bung Hatta, Perdana Menteri Sutan Sjahrir, menegaskan bahwa pemerintah Indonesia bertekad untuk tidak menerima syarat apa pun dari tentara Sekutu, selain pengakuan kemerdekaan Indonesia.


Sjahrir menyadari bahwa tidak semua hubungan dengan negara di belahan dunia ini dapat diwujudkan. Setelah mendapat pengakuan atas kedaulatannya, Sjahrir berharap Indonesia mendapatkan sejumlah hak atas bangsa-bangsa lain dalam bentuk perjanjian dan kerja sama ekonomi.  “Kami menganggap orang-orang NICA sebagai penindas yang mengancam keamanan internasional, dan kami tidak ingin bernegosiasi dengan orang-orang semacam itu.” ” kata Sjahrir di depan awak media (de Tijd, 5 Desember 1945).


Tan Malaka adalah sosok yang lebih gigih menentang usaha damai dan diplomasi dengan Belanda. Tan percaya bahwa hanya dengan perlawanan yang tegas dan gagah beranilah, Indonesia dapat meraih kemerdekaannya dari penjajahan Belanda. Menurut Tan Malaka, perundingan hanya bisa dilangsungkan oleh dua negara yang merdeka. Sedang saat itu, posisinya sangat tidak seimbang. Belanda tetap menganggap Indonesia sebagai wilayah jajahannya, dan bukan sebagai bangsa yang merdeka.


Dukungan Dunia dan Muslim Soviet untuk Kemerdekaan Indonesia


Pencaplokan wilayah Indonesia yang dilakukan oleh Belanda melalui pendudukan tentara Sekutu di Pulau Jawa, mendapat respon keras dari dunia luar. Satu-satunya negara yang mengakui keberadaan dari Indonesia sebelum diproklamirkannya kemerdekaan adalah Palestina. Tepatnya pada 6 September 1944, Palestina mengakui Indonesia negara yang merdeka secara de facto. Ucapan selamat dari Palestina disiarkan melalui radio berbahasa Arab di Berlin, Jerman. Palestina juga turut melobi sejumlah negara di Timur Tengah untuk mengakui kemerdekaan Indonesia.


Respon setelahnya datang dari Australia.  Peristiwa ini bermula saat 61 anggota awak kapal Belanda “Merak” ditangkap dan didenda oleh polisi Melbourne kemarin karena desertir. Pemogokan eksterniran asal Digoel melawan Belanda telah meluas ke kamp Belanda di Melbourne.


Sekelompok orang Indonesia yang bekerja di percetakan Belanda telah bergabung dengan para pemogok. Wakil Presiden Australia ikut dalam pawai bersama pemogok Indonesia Sekitar 300 pelaut Indonesia, yang melakukan pemogokan sebagai bentuk simpati terhadap pemerintah nasionalis Indonesia – yang ikut dalam pawai tahunan Hari Buruh di Sidney. Konvoi tersebut dibuka oleh Wakil Perdana Menteri, FM Porde, dan anggota-anggota lain dari Parlemen Australia (De waarheid, 3 Oktober 1945).


Pencaplokan wilayah Indonesia juga mendapat respon keras dari koran Rusia Izvestia. Surat kabar ini merilis laporan dari Indonesia, bahwa kedatangan tentara Belanda yang terus meningkat, ternyata tidak terlibat dalam melucuti senjata Jepang. “Mereka melakukan operasi militer dalam skala yang terus meningkat terhadap penduduk setempat yang berjuang untuk kebebasan dan kemerdekaannya.” – demikian dikutip oleh Gazet van Limburg tangga; 3 Maret 1946. Bahkan, Izvestia melaporkan pihak Belanda dengan keras kepala berusaha mengkonsolidasikan kekuasaannya lewat dengan bantuan unit-unit militer Inggris.


Respon berikutnya datang dari negara-negara Arab. Wakil Menteri Penerangan Republik Indonesia A.R Baswedan dalam pidatonya kepada masyarakat Arab – sebagaimana yhang dikutip kantor berita Perancis, AFP, menyatakan rasa terima kasihnya atas sikap mereka terhadap kemerdekaan Indonesia. Ia menambahkan bahwa Republik Indonesia akan sangat senang menerima delegasi Arab yang akan segera berkunjung ke Indonesia dan bahwa perwakilan Republik Indonesia sedang bersiap-siap untuk berangkat ke negara-negara Arab (Nijmeegsch dagblad, 24 Februari 1947).


Dukungan dari Moskow kembali hadir beberapa bulan kemudian. Tass, kantor  berita Soviet, telah menyiarkan pidato radio dari kepala umat Islam Asia Tengah dan Kazakhstan, yakni mufti Ishan Bala Khan Abdoèlmadjid. Ia menyiarkan pidatonya kepada seluruh umat Islam di dunia. Ishan menegaskan bahwa umat Islam Asia dan Soviet sangat terkejut dengan perkembangan politik dan keamanan di Indonesia.


Selaku mufti, Ishan Bala menegaskan simpatinya dengan perjuangan kaum muslimin Indonesia yang telah menderita di bawah pendudukan Dai Nippon. Lebih lanjut ia menegaskan, “Saudara-saudara kita seiman, telah merintih di bawah penjajahan Jepang, tetapi semangat mereka tidak mengendur dan dengan tangan di atas, mereka berjuang untuk kebebasan dan kemerdekaan mereka.” demikian Ishan menegaskan sebagaimana dikutip De waarheid pada 3 Oktober 1947 dari Tass.


Simpati terhadap Indonesia pasca pencaplokan yang dilakukan oleh Belanda juga ditunjukkan oleh kepala umat Islam Asia Tengah dan Kazakhstan tersebut. Ia pun melancarkan protes kerasnya terhadap Belanda yang sejak 1945-1947 telah menumpahkan darah muslim yang tidak berdosa di Indonesia.


“Negara-negara kapitalis telah menolak untuk membiarkan sebuah bangsa yang terdiri dari tujuh puluh juta orang menjalani kehidupan mereka sesuai dengan keinginan mereka sendiri. Kami kaum Muslimin di negara-negara Soviet memprotes keras upaya-upaya kaum imperialis Belanda untuk merampas kebebasan dan kemerdekaan Indonesia.” Tegasnya menutup pidatonya sebagai dikutip  Nijmeegsch dagblad, 2 Oktober 1947 dari Tass.


Simpati berikutnya datang dari India. Pandit Jawaharlal Nehru setelah berjumpa dengan Sutan Sjahrir menegaskan, serangan yang dilakukan Belanda atas Indonesia tidak dapat ditoleransi. Kepada para koresponden Provinciale Noordbrabantsche courant Het huisgezin pada 25 Juli 1947, Nehru menyatakan, “Tidak ada negara Eropa, dalam kondisi apapun, yang boleh menggunakan tentara di Asia. Semua negara Asia menaruh perhatian pada India untuk meminta bantuan dalam perkembangannya menuju kemerdekaan”. 


Sutan Sjahrir setelah berjumpa Nehru menegaskan, meskipun Belanda menggunakan pasukan artileri, ia yakin Indonesia mampu bertahan untuk waktu yang. Ia juga menegaskan untuk mengunjungi negara-negara Arab dan Mesir yang bersimpati pada perjuangan Indonesia. Adapun negara-negara yang resmi mengakui kemerdekaan Indonesia pasca Palestina adalah Mesir (22 Maret 1946), Suriah (2 Juli 1947), Vatikan (6 Juli 1947), Lebanon (29 Juli 1947), India (2 September 1946), Afghanistan (23 September 1947), Arab Saudi (November 1947), Yaman (3 Mei 1948), dan Turki pada 29 Desember 1949.   


Sumber: Republika

Komentar