GELORA.ME - Revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) menuai beragam tanggapan dari publik.
Sebagian mengkhawatirkan kembalinya dwifungsi ABRI, sementara lainnya menilai revisi ini justru memperkuat profesionalisme TNI dalam mendukung tata kelola negara.
Revisi UU TNI yang saat ini sedang dilakukan oleh DPR RI dinilai tidak menyalahi semangat reformasi.
Sebab, aspek-aspek yang dibahas dalam revisi itu justru mengatur rambu-rambu penugasan TNI di wilayah jabatan operasional dan profesional pada Kementerian dan lembaga negara.
Karena itu, revisi tersebut dianggap sulit bisa memunculkan kembali ’dwifungsi ABRI’ sebagaimana dikuatirkan sebagian aktivis LSM.
”Tuduhan adanya militerisme rebound yang distempelkan ke dalam naskah revisi UU TNI itu omong kosong,” kata Aktivis 98, Haris Rusly Moti, Selasa (18/3/2025).
Haris mengatakan, proses pembahasan RUU TNI dilakukan oleh DPR yang merepresentasikan kepentingan sipil.
Anggota DPR, selain merupakan wakil rakyat, juga berasal dari berbagai parpol yang merupakan organisasi politik sipil.
”Salah satu ciri supremasi sipil yang tampak di depan dengkul dan jidat kita adalah; revisi UU TNI dilakukan oleh lembaga tinggi negara yang bernama DPR,” tambahnya.
Kekuatiran bangkitnya dwifungsi, kata Haris, sangat tidak beralasan karena TNI sudah lama tak lagi mempunyai fungsi sosial dan politik.
Institusi ketentaraan sudah sejak era reformasi tidak mempunyai kewenangan terlibat langsung membuat peraturan yang mengatur dirinya sendiri seperti di era Orde Baru.
”Dalam pembahasan revisi UU di DPR, TNI hanya dimintai masukan terkait hal-hal yang mengatur lembaga tersebut. Pada akhirnya, TNI hanya menjadi pelaksana dari UU yang dibuat dan diputuskan oleh DPR,” jelasnya.
Alumnus Universitas Gadjah Mada (UGM) itu menyebut, di sepanjang era reformasi, TNI membuktikan dirinya tunduk pada keputusan lembaga negara yang dikendalikan oleh sipil.
Hal tersebut dinilainya berbeda jika dibandingkan dengan masa Orde Baru, di mana TNI ikut membuat UU lantaran memiliki peran Sosial Politik (Sospol) yang antara lain disalurkan melalui parlemen.
Kala itu, TNI memiliki Fraksi ABRI di DPR/ MPR yang disupervisi oleh Kasospol ABRI. Keberadaan Fraksi ABRI maupun jabatan Kasospol, sejak era reformasi telah ditiadakan.
Menurut Haris, situasi politik saat ini sangat berbeda dengan era Orde Baru, dimana ABRI, selain memikiki fungsi sebagai institusi pertahanan negara, juga berfungsi sebagai kekuatan sosial dan politik.
ABRI kala itu memiliki peran sebagai dinamisator dan stabilisator politik serta menjadi konduktor dan terlibat langsung dalam pembuatan keputusan politik kenegaraan di lembaga tinggi dan tertinggi negara, termasuk yang mengatur tugas pokok dan fungsi ABRI.
“Era supremasi militer itu berakhir ketika era reformasi lahir dengan membawa serta semangat demokratisasi yang lebih luas. Sejak saat itu, Pilpres, Pileg dan Pilkada diselenggarakan secara langsung. Perubahan tersebut menempatkan institusi sipil seperti Parpol dalam peran yang sentral,” jelas dia.
Karena itu, Haris menilai mereka yang mengobarkan ketakutan dan trauma terkait ancaman militerisme atau dwifungsi rebound tidak memiliki dasar teori dan analisis yang kuat.
Sejauh pengamatannya, Haris meyakini bahwa revisi UU TNI tidak mengembalikan peran Sospol TNI.
Apalagi, topik pembahasan dalam revisi UU TNI hanya mengatur terkait penugasan perwira TNI di wilayah operasional kementerian dan lembaga negara, yang sangat mungkin membutuhkan profesionalitas dan keahlian khusus perwira TNI.
Revisi tersebut, kata Haris, dapat memetakan jabatan-jabatan operasional di kementerian dan lembaga yang dapat di isi oleh perwira TNI.
Meskipun demikian, jabatan-jabatan tersebut tidak musti mutlak harus diisi oleh perwira TNI.
Artikel Terkait
Gerindra Siap Tampung Gelombang Besar Kader Projo, Dasco: Kita Siap!
Projo Ganti Logo: Tak Pakai Wajah Jokowi Lagi, Ini Alasannya
Usulan Double Track Megawati vs Kereta Cepat Whoosh: Polemik Utang dan Prioritas
Kasus Ijazah Jokowi: Polda Metro Segera Gelar Perkara, Tersangka Akan Ditetapkan