Sebab, semuanya tergantung pada kebutuhan dan keputusan pimpinan kementerian atau lembaga yang menggunakannya.
Di samping itu, perlu digarisbawahi pula bahwa pengawasan pada prajurit TNI pada ranah kementerian dan lembaga dilakukan oleh lembaga negara non militer atau institusi sipil.
Sebetulnya, perwira TNI sudah kerap ditugaskan di jabatan profesional dan operasional kementerian dan lembaga untuk tujuan membantu jalan program pembangunanan.
Misalnya saja, pada saat terjadinya pandemi Covid beberapa tahun lalu, Letjen TNI Doni Monardo (almarhum) yang menjabat sebagai Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) ditunjuk jadi Kepala Satgas Covid.
Sebagai tentara aktif, kepemimpinan Doni efektif dalam memimpin dan menggerakan perangkat organisasi TNI dan Polri untuk penanganan Covid.
Tetapi, ia tetap tunduk pada keputusan Presiden RI yang notabene pejabat sipil.
”Revisi UU TNI perlu dilakukan agar penempatan perwira TNI harus relevan dengan kapasitas dan keahlian yang dibutuhkan. Herus ada landasan hukum yang kuat untuk mengatur pengisian jabatan profesional dan operasional di kementerian dan lembaga oleh perwira profesional TNI agar tidak menyalahi peraturan perundang-undangan yang berlaku,” ungkap dia.
Dengan demikin, ucap Haris, revisi UU itu justru untuk menegaskan adanya meritokrasi di tubuh TNI.
Sebab, terdapat kesadaran bahwa penugasan terjhdap perwira dilakukan berdasarkan kapasitas dan keahlian yang dibutuhkan oleh kementerian dan lembaga terkait.
”Perwira-perwira yang disekolahkan dengan biaya oleh negara itu mestinya dapat dimaksimalkan keahliannya untuk terlibat memajukan kesejahteraan rakyat,” ungkapnya.
Haris tidak menampik adanya suara kritis dari publik terhadap revisi UU TNI.
Menurutnya, adanya masukan-masukan kritis untuk penyempurnaan revisi UU TNI dan juga Polri, harus dihormati.
Publik perlu dipandang mitra sebagai berpikir yang sama-sama memiliki semangat untuk menjaga ruh proklamasi kemerdekaan, Pancasila dan UUD 1945.
Meski demikian, dia menyayangkan cara pandang dikotomis yang dibawa sebagian aktivis LSM dalam menyikapi revisi UU TNI.
Menurutnya, cara berpikir yang cenderung parsial dalam melihat tata kelola negara itu, kurang tepat diterapkan di era sekarang.
Sebab, negara Indonesia pada kenyatannya merupakan sistem yang berdiri di atas banyak aspek, unsur dan elemen yang saling menopang secara kompatibel antara satu dengan yang lainya.
”Mestinya kita memakai pertimbangan multi aspek dalam mendefinisikan negara. Selain soal demokrasi dan hak hak sipil, ada juga aspek pertahanan dan keamanan yang juga menopang sebuah negara. Sehingga, narasi yang pas bukan lagi dikotomi sipil dan militer tetapi kolaborasi sipil dan militer yang solid,” ungkap dia.
Diberitakan sebelumnya, Wakil Ketua Komisi I DPR Sufmi Dasco Ahmad menyangkal Komisi I DPR ngebut dalam proses pembahasan Revisi Undang-Undang (UU) Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI.
Dia menegaskan proses pembahasan regulasi itu telah lama dilakukan.
Hal tersebut disampaikan Dasco saat jumpa pers terkait polemik RUU TNI di Ruang Rapat Badan Anggaran (Banggar) DPR, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Senin (17/3/2025).
"Saya sampaikan bahwa tidak ada kebut mengebut dalam RUU TNI. Seperti kita tahu bahwa revisi UU TNI ini sudah berlangsung dari berapa bulan lalu dan kemudian dibahas di Komisi I termasuk mengundang partisipasi publik," ujar Dasco.
Dia menegaskan tak ada rapat tertutup dalam membahas RUU TNI, termasuk di Hotel Fairmont, Jakarta, beberapa waktu lalu.
Rapat konsinyering di Hotel Fairmont sedianya terbuka.
"Tidak ada kemudian rapat terkesan diam-diam, karena rapat yang dilakukan di hotel itu adalah rapat terbuka. Boleh dilihat di agenda rapatnya, rapat diadakan terbuka," ucapnya.
Ketua DPP Partai Gerindra ini menuturkan konsinyering dalam tahapan pembahasan UU telah diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Sedianya rapat konsinyering di Hotel Fairmont digelar 4 hari, namun karena efisiensi hanya 2 hari.
"Walaupun cuma 3 pasal tetapi pembahasannya itu memerlukan waktu karena dari sisi naskah akademik dan lain-lain perlu juga merumuskan kata-kata atau kemudian pokok yang tepat dalam pembahasannya sehingga diperlukan konsinyering," kata Dasco.
Sumber: Wartakota
Artikel Terkait
Budi Arie Setiadi Pilih Gerindra, Pengamat Sebut Alasan Pragmatis dan Perlindungan Hukum
Jokowi Absen dari Kongres Projo III karena Alasan Kesehatan, Gelar Open House di Solo
Popularitas Purbaya Yudhi Sadewa Anjlok? Ini Peringatan Keras Pengamat Politik
KPK Wajib Periksa Jokowi dan Luhut Terkait Korupsi Whoosh? Ini Kata Pengamat