Dandhy Laksono: Bencana Sumatra Bukan Alam, Tapi Bencana Buatan Manusia - Analisis Lengkap

- Sabtu, 13 Desember 2025 | 22:50 WIB
Dandhy Laksono: Bencana Sumatra Bukan Alam, Tapi Bencana Buatan Manusia - Analisis Lengkap

Dandhy mengungkapkan bahwa aktivis lingkungan di Aceh telah 17 kali mengirim surat peringatan ke pemerintah terkait deforestasi di kawasan suaka margasatwa, lengkap dengan data satelit dan koordinat GPS, namun diabaikan.

Peringatan BMKG soal curah hujan ekstrem juga disebut tak ditindaklanjuti. Sistem pertanahan yang meminggirkan masyarakat adat turut dikritik. “Mana masyarakat adat punya kertas? Begitu tidak bisa menunjukkan surat, tanahnya dianggap tanah negara, lalu dibagi-bagi lewat HGU,” ujarnya.

Era Mana Paling Merusak?

Ketika ditanya era kepemimpinan mana yang paling merusak hutan, Dandhy menjawab tegas: era Susilo Bambang Yudhoyono, dengan kebijakan kehutanan yang kemudian dilanjutkan pada era Jokowi dan Prabowo.

“Ini pemerintahan yang berkelanjutan. Ganti presiden, kebijakannya tidak dikoreksi,” ujarnya. Kerusakan lingkungan dinilai sebagai akumulasi panjang kebijakan ekstraktif tanpa koreksi.

Korban Jiwa Tembus 1.006 dan Tindakan Penegakan Hukum

Hingga Sabtu (13/12/2025), data BNPB mencatat korban jiwa dalam bencana Sumatra mencapai 1.006 orang meninggal, 217 hilang, dan 5,4 ribu terluka. Sebanyak 158 ribu rumah dilaporkan rusak.

Di sisi penegakan hukum, Kementerian Kehutanan melalui Ditjen Gakkum telah melakukan penyegelan dan verifikasi terhadap 11 entitas usaha, termasuk 4 korporasi dan 7 Pemegang Hak Atas Tanah (PHAT) di Kabupaten Tapanuli Selatan yang diduga terlibat pelanggaran tata kelola kehutanan.

Barang bukti seperti kayu bulat, alat berat, dan mesin olahan kayu berhasil diamankan. Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni menegaskan penyidikan akan mendalami jejaring pelaku dan modus operandi yang diduga berkontribusi pada bencana hidrometeorologi ini.

Solusi: Kembalikan Pengelolaan pada Masyarakat Adat

Dandhy menawarkan solusi tegas: hutan seharusnya dikelola oleh masyarakat adat dan lokal, bukan negara apalagi korporasi. “Secara historis, masyarakat paling mampu menjaga hutan. Mereka tidak akan merusak kampungnya sendiri,” katanya.

Ia mengingatkan, jika pola ekstraksi terus berlanjut, Indonesia hanya sedang “memakan tabungan alam”, menuju krisis ekologis permanen. “Ini bukan film horor fiksi. Ini masa depan anak cucu kita,” pungkas Dandhy Laksono.

Halaman:

Komentar