Kritik dan Tantangan: Transparansi dan Akuntabilitas
Kebijakan ini menuai kritik dari organisasi lingkungan seperti JATAM dan WALHI. Mereka menilai ini sebagai bentuk obral konsesi dan berpotensi menimbulkan konflik lahan serta kerusakan lingkungan baru. Pertanyaan mendasar muncul: jika ormas yang mengelola, siapa yang akan mengawasi dan bertanggung jawab atas dampak lingkungannya?
Transparansi juga menjadi masalah. Hingga pertengahan 2025, tidak jelas berapa dari 27 WIUPK yang ditawarkan telah resmi menjadi izin. Beberapa ormas ada yang menerima, ada pula yang menolak dengan alasan fokus pada urusan internal.
Inti Masalah: Pergantian Pemain, Bukan Perubahan Paradigma
Analisis ini menunjukkan bahwa siklusnya tetap sama. Pencabutan izin lama hanya membuka pintu bagi pemegang izin baru. Hutan tetap dipandang sebagai objek ekonomi yang sah untuk dieksploitasi, terlepas dari siapa pemegang izinnya—korporasi atau ormas.
Undang-undang sebenarnya menyediakan sanksi pidana bagi pelaku perusakan lingkungan, termasuk corporate liability. Namun, penegakannya masih lemah. Hukuman lebih sering ditujukan pada entitas abstrak perusahaan, bukan pada pengambil keputusan di baliknya.
Kesimpulan: Distribusi Keadilan atau Izin Kehancuran?
Pertanyaan kritis hingga akhir 2025 adalah: Apakah negara mendistribusikan keadilan atau sekadar mendistribusikan izin kehancuran lingkungan dengan wajah dan bungkus yang berbeda? Selama paradigma yang melihat hutan hanya sebagai komoditas ekonomi tidak berubah, setiap izin yang dikeluarkan—meski kepada pihak baru—tetap merupakan vonis bagi kelestarian hutan tropis Indonesia.
(Ketua Satupena Kalbar)
Artikel Terkait
Klarifikasi Lengkap Video Viral Golf Dadan Hindayana: Charity untuk Bencana Sumatera
2.603 Rumah Bantuan Dibangun Tanpa APBN, Tzu Chi & Menteri Ara Berkontribusi
Bantuan Rp 10.000 Per Hari dari Mensos: Jadup 3 Bulan untuk Korban Bencana Sumatera
Lisa Mariana Minta Maaf ke Atalia via DM: Unggah Bukti & Reaksi Warganet