Keterlibatan ustaz populer dalam dukung-mendukung calon berisiko memecah jemaah dan mengurangi kredibilitas. Jamaah yang mendukung calon berbeda bisa merasa tidak nyaman, bahkan bisa berdampak destruktif bagi umat Islam secara keseluruhan.
Belajar dari Pengalaman Politik UAS
UAS memiliki rekam jejak dukungan politik yang belum berhasil. Dukungannya kepada Prabowo Subianto tahun 2019 dan Anies Baswedan tahun 2024 berakhir dengan kekalahan. Satu-satunya kemenangan signifikan adalah dukungannya kepada Abdul Wahid di Pilkada Riau, yang kini berakhir dengan penangkapan KPK.
Kasus Abdul Wahid menjadi pelajaran berharga tentang risiko dukungan politik tanpa pertimbangan matang. UAS terlihat reaktif membela tanpa informasi akurat, mempertanyakan apakah ini akan menjadi akhir keterlibatannya dalam politik atau justru awal karier politik praktis.
Politik Cair dan Reputasi Ulama
Dunia politik Indonesia dikenal cair, dengan politisi mudah berpindah partai dan janji kampanye yang sering tidak terwujud. Dalam lingkungan seperti ini, keterlibatan ustaz populer dalam politik praktis berisiko merusak reputasi dan mengurangi kepercayaan publik.
Ustaz yang ingin berkontribusi dalam politik sebaiknya mempertimbangkan untuk terjun langsung ke dunia politik praktis daripada sekadar memberikan dukungan dari luar. Dengan demikian, dapat dihindari konflik kepentingan dan menjaga netralitas sebagai figur spiritual.
Artikel Terkait
Rais Yatim Tegur Keras Tito Karnavian Soal Bantuan Aceh, Ini Kronologi Lengkapnya
Pembunuhan Anak Maman Suherman: Psikolog Forensik Sebut Pelaku Orang Dekat, Polisi Selidiki 4 Eks Karyawan
Kondisi Fisik Ijazah Asli Jokowi Akhirnya Terungkap: Robek dan Usang, Kata Pengacara Eggi Sudjana
Said Abdullah Kembali Pimpin PDIP Jatim 2025-2030, Targetkan 50 Ribu Startup dan Dana Abadi Partai