Gelombang protes yang berlangsung dari 25 hingga 30 Agustus itu, menurut Ray, tidak hanya mengindikasikan lemahnya komunikasi antara pemerintah dan masyarakat, tetapi juga mencerminkan kerapuhan institusi politik dalam merespons kritik dari publik. Hal ini dinilainya sebagai indikator kegagalan dalam mengelola sistem demokrasi.
Ray juga menyoroti melemahnya fungsi oposisi sebagai pemicu krisis politik ini. Ia berpendapat bahwa ketika hampir semua kekuatan politik berada di dalam lingkar kekuasaan, masyarakat kehilangan saluran aspirasi yang seharusnya berfungsi sebagai penyeimbang. Kondisi ini dianggapnya mengingatkan pada era pemerintahan yang sentralistik dan kurang terbuka terhadap kritik. "Ketika ruang oposisi melemah, rakyat tidak punya pilihan lain selain mengekspresikan kekecewaannya secara langsung di jalanan," pungkas Ray Rangkuti.
Sumber: Suara.com
Artikel Terkait
Jokowi Janji Tunjukkan Ijazah Asli di Pengadilan, Dokter Tifa Sindir: Bikinan Mana Lagi?
Dito Ariotedjo Unfollow Istri: Fakta Rumor Perselingkuhan dengan Davina Karamoy
HalalPoint: Aplikasi Trading Saham Syariah Terbaru dari PT UMI untuk Investor Muslim Indonesia
Sopir Bus Rosalia Indah Dipecat Usai Viral Ugal-ugalan: Kronologi & Ancaman Hukum