Strategi Politik PSI Dikritik: Analis Bongkar Alasan Dibalik Gimik "Bapak J" dan Ketergantungan pada Jokowi-Kaesang
Partai Solidaritas Indonesia (PSI) kembali menjadi sorotan publik dan pengamat politik. Setelah berhasil menjadi salah satu partai yang paling banyak diperbincangkan di media sosial, strategi politik PSI kini dipertanyakan keabsahannya.
Analis Politik sekaligus Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO), Dedi Kurnia Syah, menyoroti strategi Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang dinilai kerap menyajikan gimik politik. Salah satu contoh terbaru adalah isu "Bapak J" sebagai Ketua Dewan Pembina yang sempat menjadi trending topic.
Fenomena "Bapak J" yang memicu spekulasi liar di kalangan warganet dinilai Dedi sebagai puncak dari serangkaian manuver politik yang lebih mengutamakan sensasi ketimbang substansi. Isu ini, yang sengaja dilemparkan tanpa kejelasan, dinilai berhasil menyedot perhatian media dan publik, namun minim menyentuh pembahasan mengenai program kerja atau ideologi partai.
Penyebab PSI Bergantung pada Gimik Politik
Menurut Dedi, fenomena ini berakar pada minimnya tokoh dan gagasan substansial yang dimiliki PSI. Dalam peta politik nasional, PSI dianggap belum memiliki figur yang secara independen mampu menandingi karisma para elit politik dari partai-partai senior.
"Dengan ketidakmampuan menonjolkan tokoh dan ide politik itulah menjadi sebab PSI memilih jalur gimik, selain untuk meningkatkan popularitas, juga menciptakan sensasi populis," ujar Dedi saat dihubungi Suara.com, Rabu (15/10/2025).
Strategi gimik dianggap paling efektif untuk mencapai dua tujuan utama: meningkatkan popularitas secara instan dan menciptakan sensasi populis di tengah hiruk pikuk politik, terutama untuk menarik pemilih muda (18-45 tahun) yang menjadi target utama PSI.
Artikel Terkait
Jusuf Hamka Menggugat Hary Tanoe di Pengadilan: Pengakuan Pahit Korban Kezaliman Bisnis
Yusuf Muhammad Kritik Respons Gibran Soal CPNS: Dinilai Kosong dan Minim Optimalisasi
Dharma Pongrekun: Ingin Jadi Polisi yang Baik, Tapi Sistemnya Menghadang?
Dina Meninggal, Fitnah Heryanto Menghantui: Fakta atau Rekayasa?