Sikap Munafik Politik dan Upaya Menyelamatkan Diri: Siap Masuk Gerindra

- Jumat, 08 Agustus 2025 | 15:40 WIB
Sikap Munafik Politik dan Upaya Menyelamatkan Diri: Siap Masuk Gerindra


Sikap Munafik Politik dan Upaya Menyelamatkan Diri: 'Siap Masuk Gerindra'


Oleh: Ali Syarief

Akademisi


Setelah kekuasaan bergeser dari tangan Joko Widodo ke Prabowo Subianto, panggung politik nasional kembali menunjukkan wataknya yang penuh kepura-puraan. 


Salah satu yang paling mencolok adalah perubahan sikap para loyalis Jokowi, terutama Budi Arie Setiadi dan organisasi relawan yang ia pimpin, Projo


Di masa keemasan Jokowi, Projo adalah kendaraan politik paling agresif dalam membela sang presiden, bahkan tak jarang terkesan membabi buta. 


Tapi kini, setelah Jokowi tidak lagi menjabat, sikap “tegak lurus” mereka beralih ke Prabowo—sebuah manuver yang tidak bisa dibaca hanya sebagai strategi politik biasa, melainkan sebagai upaya untuk menyelamatkan diri dari kemungkinan jeratan hukum, terutama terkait skandal judi online yang menyeret nama Budi Arie.


Projo: Dari Relawan Jadi Oportunis


Budi Arie Setiadi, Ketua Umum Projo yang kini menjabat sebagai Menteri Komunikasi dan Informatika, menyatakan bahwa Projo akan mengikuti semua perintah Presiden Prabowo. 


“Kita siap. Semua yang diperintah Presiden kita siap. Kita tegak lurus Pak Presiden,” ujarnya. 


Pernyataan ini bukan sekadar sinyal dukungan, tetapi lebih tepat disebut sebagai langkah politis penuh perhitungan.


Padahal, identitas Projo dibangun di atas dukungan terhadap Jokowi. 


Lalu, ketika Jokowi tak lagi berkuasa, dengan mudahnya arah politik Projo bergeser. 


Tidak ada lagi pembelaan terhadap “Pakde Jokowi” yang dulu diagung-agungkan. 


Justru mereka kini menjilat lidah sendiri dan berpindah kiblat politik demi menyelamatkan posisi dan mungkin juga masa depan hukum.


Skandal Judol dan Bayang-Bayang Hukum


Pergeseran sikap ini tidak bisa dilepaskan dari skandal besar yang melibatkan Budi Arie Setiadi sebagai Menteri Kominfo: perjudian online alias judol. 


Di masa jabatannya, praktik judol justru tumbuh subur, bahkan ketika Kominfo gembar-gembor menutup situs-situs ilegal. 


Banyak pihak menilai bahwa pemberantasan judol hanya formalitas, atau bahkan menjadi ladang permainan kekuasaan dan ekonomi terselubung.


Kini, ketika Jokowi tak lagi bisa memberikan perlindungan politik, dan Prabowo sedang mengonsolidasikan kekuasaan, Budi Arie memilih untuk “tegak lurus” kepada Prabowo—satu-satunya cara agar ia tetap aman secara hukum dan politis. 


Rakyat tentu tidak buta melihat ini. Semakin besar tekanan publik untuk mengusut skandal judol sampai tuntas, termasuk siapa saja yang terlibat di dalamnya.


Pragmatisme Politik atau Munafik?


Ada yang menyebut langkah Budi Arie dan Projo sebagai bentuk pragmatisme politik. Tapi kenyataannya, publik menyebutnya sebagai kemunafikan. 


Ketika kekuasaan Jokowi kuat, mereka memuja-muja. Ketika kekuasaan berpindah, mereka membelot tanpa rasa malu. 


Bahkan ketika Prabowo menyindir Budi Arie di hadapan publik tentang afiliasinya—“Masuk PSI ya kau? Bukan, hah?”—semua hanya dibalas dengan tawa ringan, seolah menunjukkan betapa cair dan tidak bermoralnya posisi politik para elite relawan itu.


Rakyat Masih Menuntut Keadilan


Rakyat belum lupa. Nama Budi Arie masih kuat dikaitkan dengan skandal judol. 


Meskipun Kominfo terus menutup situs-situs, tidak ada transparansi, tidak ada evaluasi, dan tidak ada pertanggungjawaban yang jelas. 


Skandal ini bisa menjadi titik awal untuk membuka borok kekuasaan Jokowi di sektor digital dan komunikasi, dan para pemain utamanya tidak bisa dibiarkan bebas begitu saja hanya karena mereka “tegak lurus” pada penguasa baru.


Kesimpulan: Saatnya Menuntut Akuntabilitas


Perubahan haluan politik bukan dosa. Tetapi jika perubahan itu dilakukan demi menghindari tanggung jawab hukum dan mengaburkan jejak kejahatan, maka publik wajib bersuara. 


Projo boleh saja tak lagi “Pro Jokowi”, boleh juga “tegak lurus” ke Prabowo, bahkan boleh masuk Gerindra atau PSI. 


Tetapi Budi Arie tidak bisa terus bersembunyi di balik simbol dan jargon politik.


Keadilan tetap harus ditegakkan. Skandal judol bukan soal politik semata, tapi soal moral dan hukum. 


Saat kekuasaan berganti, rakyat harus memastikan bahwa siapa pun yang terlibat dalam penyalahgunaan jabatan dan korupsi harus diadili, tak peduli berapa kali ia mengganti baju politiknya.


Penutup:


Bangsa ini terlalu lama dikuasai oleh para oportunis. Jika rakyat diam, maka drama politik semacam ini akan terus berulang. 


Saatnya menuntut bukan hanya perubahan kekuasaan, tetapi juga perubahan etika dan pertanggungjawaban. ***


Sumber: FusilatNews

Komentar