GELORA.ME - Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut kesejahteraan rakyat Indonesia meningkat usai data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan penurunan jumlah orang miskin dan pengangguran.
Ia menggunakan data yang dilaporkan BPS beberapa waktu lalu.
Menurutnya, itu menunjukkan perbaikan dari kesejahteraan rakyat Indonesia.
"Tren perbaikan dari kesejahteraan, seperti jumlah penduduk miskin per Maret 2025 oleh BPS dinyatakan turun 1,37 juta orang dibandingkan Maret 2024," kata Sri Mulyani pada Konferensi Pers Hasil Rapat Berkala KSSK III 2025 di Kantor LPS, Jakarta Selatan, Senin (28/7).
"Dari sisi angka pengangguran juga mengalami penurunan, dari 4,82 persen (pada) Februari 2024 menjadi 4,76 persen Februari 2025," sambungnya.
Wanita yang akrab disapa Ani itu juga mengklaim ada penambahan lapangan kerja di tanah air dibandingkan tahun lalu.
Ia mencatat penambahan lapangan kerja mencapai 3,59 juta pada Februari 2025.
Di lain sisi, ia meyakini pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang 2025 masih akan tetap terjaga di kisaran 5 persen.
Keyakinan ini disuarakan di tengah gejolak geopolitik dan ekonomi global, termasuk perang dagang imbas tarif resiprokal dari Presiden AS Donald Trump.
"Berbagai perkembangan dan kondisi strategi kebijakan akan terus ditingkatkan untuk mendorong multiplier effect yang lebih besar sehingga ekonomi Indonesia 2025 diproyeksikan masih akan tumbuh di sekitar 5 persen," ucap Ani.
"Peranan sektor swasta sebagai penggerak pertumbuhan akan terus didorong melalui kebijakan dan percepatan deregulasi, termasuk mendorong peranan Danantara yang makin optimal," tambahnya.
Ia turut membocorkan bahwa Kementerian Keuangan dan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian tengah menyiapkan paket stimulus untuk Natal dan Tahun Baru (Nataru) 2025-2026.
Namun, Sri Mulyani tak merinci lebih lanjut insentif apa yang sedang digodok pemerintah.
[ANALISIS] Prabowo dan Ganjalan Besar Babat Habis Kemiskinan Ekstrem di 2029
Presiden Prabowo Subianto punya mimpi besar membabat habis kemiskinan ekstrem di Indonesia hingga 0 persen pada 2029 mendatang.
Tekad itu tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029.
Baseline Prabowo adalah data 2024 yang mencatat masih ada 1,47 persen kemiskinan ekstrem, lalu coba ditekan ke level 0,5 persen-1 persen pada tahun ini.
"Target kemiskinan ekstrem ini juga mengikuti standar internasional pada US$2,15 purchasing power parity per kapita per hari," tulis petikan dokumen tersebut, dikutip Senin (28/7).
Mengacu data Badan Pusat Statistik (BPS), persentase penduduk miskin ekstrem di Indonesia adalah 0,85 persen atau 2,38 juta orang per Maret 2025.
Jumlah itu diklaim turun dibandingkan September 2024 yang masih menyentuh 0,99 persen alias 2,78 juta orang.
Kebijakan Ekonomi Makro dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) 2026 bahkan menargetkan kemiskinan ekstrem hilang.
Namun, pemerintah bersama DPR RI akhirnya sadar diri dan sepakat memperlebar target tahun depan menjadi 0 persen-0,5 persen.
Pengamat Ekonomi Universitas Andalas Syafruddin Karimi mengingatkan target ambisius itu berpotensi terganjal.
Pasalnya, mimpi harus bentrok dengan kenyataan pahit rapuhnya perekonomian nasional dan global. Kondisi ini diperparah dengan gejolak geopolitik sampai perang dagang.
Ia menilai mimpi mencapai kemiskinan ekstrem 0 persen hanya akan realistis ketika pemerintah menggerakkan seluruh instrumen fiskal.
Presiden Prabowo didesak memperkuat jaring pengaman sosial dan membuka lapangan kerja dalam skala besar melalui kebijakan berkelanjutan.
"Tanpa itu, target tersebut bisa menjadi retorika politik yang tidak berpijak pada kenyataan lapangan," kata Syafruddin.
Target menghapus kemiskinan ekstrem sebelum 2029 itu dinilai masih mungkin tercapai, dengan syarat pemerintah kudu kerja cepat dan fokus.
Kendati demikian, Syafruddin mewanti-wanti agar keberhasilan itu berpijak pada fondasi yang jujur dan akurat.
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Andalas itu menentang budaya manipulasi data.
Ia menegaskan pemerintah tak boleh bermain angka atau sekadar mempercantik statistik demi kepuasan elite.
Syafruddin menyoroti kredibilitas BPS selaku badan yang mengumpulkan dan melaporkan data-data penting di Indonesia, termasuk masalah kemiskinan.
Ia mengatakan ada perbedaan mencolok antara angka resmi BPS dan temuan Bank Dunia.
"Budaya manipulasi data 'Asal Bapak Senang (ABS)' justru akan menghancurkan kredibilitas negara di hadapan rakyat dan dunia internasional," tegasnya.
"Ketika Indonesia mengklaim tingkat kemiskinan ekstrem tinggal satu digit, Bank Dunia mencatat lebih dari 60 persen penduduk hidup di bawah garis kemiskinan global. Publik mulai curiga bahwa statistik telah direkayasa. Jika pemerintah ingin membuktikan keseriusan, maka transparansi, kesesuaian standar, dan verifikasi independen harus menjadi bagian dari strategi utama," desak Syafruddin.
Direktur Next Policy Yusuf Wibisono mengapresiasi BPS sudah mau meninggalkan garis kemiskinan ekstrem US$1,90 per kapita per hari.
Kendati, ia menegaskan itu masih belum ideal. Bank Dunia bahkan sudah menaikkan PPP menjadi US$3 per kapita per hari pada Juni 2025.
Ia menghitung kemiskinan ekstrem Indonesia justru bengkak jika mengacu standar baru World Bank.
Yusuf mencatat jumlahnya melambung hingga 8,55 persen pada Maret 2025.
"Target kemiskinan ekstrem 0 persen pada 2029 terlalu mudah diraih karena adopsi garis kemiskinan ekstrem yang terlalu rendah. Karenanya, target kemiskinan ekstrem 0 persen pada 2029 ini dapat disebut sebagai bentuk 'manipulasi politik', di mana target yang terlihat gagah dipilih karena lebih mudah diraih dengan penggunaan standar kemiskinan yang lebih rendah," analisa Yusuf.
"Ukuran kemiskinan yang lebih tinggi, selain lebih relevan untuk Indonesia yang kini telah naik kelas menjadi upper-middle income country, juga akan memberi implikasi penting untuk formulasi strategi pertumbuhan ekonomi yang lebih inklusif," sambungnya.
Direktur Ekonomi Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda ikut menyoroti praktik 'Asal Bapak Senang' yang membuat jurus-jurus Presiden Prabowo justru tak ampuh memberantas kemiskinan.
Salah satu contoh nyata kegagalan pemerintah adalah memperbaiki penyaluran bantuan sosial (bansos). Huda menyebut setidaknya ada 2 masalah utama terkait bansos di Indonesia.
Pertama, exclusion error. Ini membuat orang yang seharusnya memperoleh bansos malah tidak mendapatkan hak tersebut.
Kedua, inclusion error. Huda mengatakan ada juga temuan mengenai masyarakat yang seharusnya tidak dapat justru mengantongi bansos dari pemerintah.
"Keduanya berawal dari data yang tidak valid dan tidak menggunakan data tunggal. Maka dari itu, yang paling utama adalah data harus diperbaiki. Data Registrasi Sosial Ekonomi BPS harusnya bisa digunakan untuk melihat data orang miskin by name by address. Dan paling penting adalah menggunakan standar internasional, tidak 'Asal Bapak Senang'," tuturnya.
Sementara itu, Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet mengatakan tantangan pengentasan kemiskinan juga muncul dari pekerja sektor informal yang mendominasi hingga lebih dari 55 persen.
Ini membuat mayoritas pekerja berada dalam kategori rentan terhadap guncangan ekonomi, baik dari sisi upah, perlindungan sosial, sampai stabilitas pekerjaan.
Ia menilai pekerjaan rumah terbesar Presiden Prabowo dan para pembantunya sekarang adalah membenahi kualitas intervensi sosial dan ekonomi.
Yusuf menegaskan aksi ini mesti dibarengi akurasi basis data.
"Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) yang digunakan sebagai acuan penyaluran bansos kerap mendapat kritik karena masih menyisakan eksklusi dan inklusi eror. Tanpa pembaruan data yang lebih akurat dan dinamis, penargetan program perlindungan sosial rawan tidak tepat sasaran, terutama bagi kelompok miskin ekstrem yang cenderung tidak terdata secara formal," jelasnya.
Yusuf juga mewanti-wanti efektivitas instrumen lain yang dipakai pemerintah, seperti program padat karya, bantuan tunai bersyarat, dan pemberdayaan ekonomi mikro.
Menurutnya, poin-poin tersebut masih sangat bergantung pada desain program dan koordinasi lintas sektor.
Ia melihat Danantara punya celah untuk mulai mengambil peran dalam membantu Prabowo menghilangkan kemiskinan ekstrem di Indonesia. Walau, peran tersebut belum bakal ampuh 100 persen.
"Investasi melalui badan seperti Danantara bisa menjadi pelengkap, tetapi belum cukup untuk menjangkau akar masalah kemiskinan ekstrem, terutama di wilayah terpencil dan kelompok rentan struktural," tutup Yusuf.
Sumber: CNN
Artikel Terkait
Hormat dan takjub, dokter Rusia terus melanjutkan operasi pasien saat gempa 8,8 SR mengguncang
Hinca Sentil PPATK Soal Blokir Rekening Nganggur 3 Bulan: Jangan Intimidasi Masyarakat Umum
Cerita Korban Gempa Rusia M 8,7: Tanah Bergerak seperti Ombak, Tuhan Tolong Saya
Link Video Viral Nurma HMT 7 Menit Bertebaran di Medsos, Benarkah Sengaja Dibuat Demi Uang 33 Ringgit Malaysia?