Selanjutnya, Presiden Prabowo Subianto juga menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2025 (PP 10/2025) tentang Organisasi dan Tata Kelola Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) pada 24 Februari 2025. Kehadiran alas hukum BPI Danantara (meskipun proses formil dan materiilnya dipertanyakan) telah mengubah rekonstruksi hukum pengelolaan BUMN atau perusahaan negara. Beleid ini secara umum mengatur tata kelola Danantara, mulai dari wewenang hingga struktur organisasi, termasuk personalia yang didominasi para pengusaha swasta (istilah kolega di BUMN = anak kos), serta aksi korporasinya.
Maka, pasca terbitnya PP 10/2025 muncullah isu yang beredar dipublik mengenai aksi korporasi Danantara untuk masuk sebagai pemegang saham minoritas di PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk (GoTo). Hal ini didahului oleh adanya informasi rencana merger dengan Grab, menjadi topik "bola liar" yang panas. Walaupun belum ada konfirmasi dari pihak manajemen Danantara atas isu aksi korporasi pembelian saham perusahaan swasta itu, tetap harus menjadi perhatian serius pemangku kepentingan (stakeholders) dan masyarakat Indonesia. Mengapa demikian? Tentu saja karena Danantara memiliki kewenangan mengumpulkan laba-laba BUMN utama, seperti Pertamina, PLN, BRI, Mandiri, BNI, MIND. ID, dan yang lainnya.
Yang jadi permasalahan, adalah untuk kepentingan aksi korporasi apa dan siapakah pemanfaatan laba BUMN yang terkumpul tersebut. Apalagi, pada Pasal 2 PP 10/2025 ayat 1 dinyatakan, bahwa dalam melaksanakan pengelolaan BUMN, Presiden melimpahkan sebagian tugas dan kewenangannya kepada badan, dalam hal ini Danantara. Badan ini atau Danantara juga bertanggung jawab langsung kepada Presiden RI, Prabowo Subianto.
Lalu, dimanakah posisi forum strategis Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) yang kewenangannya terdapat didalam Pasal 14 UU 19/2003 sebelum direvisi dan kuasa Menteri BUMN? Bukankah ini tumpang tindih kewenangan dan berpotensi korupsi atas berbagai keputusan aksi korporasi Danantara yang tidak sejalan dengan bisnis inti (core business) BUMN yang telah lebih dahulu ada?
Benarkah posisi Menteri BUMN yang merangkap sebagai Dewan Pengawas Danantara dapat menjadi substitusi kuasa dalam posisinya sebagai pemegang mandat RUPS? Apalagi, terkait penempatan personalia (SDM) jajaran pimpinan manajemen masing-masing BUMN yang ada. Siapakah yang memiliki kewenangan, Rosan Roeslani sebagai Kepala Eksekutif/CEO BPI Danantara ataukah Erick Thohir sebagai Menteri BUMN?
Selanjutnya, dari laba yang dikumpulkan dan terkumpul dari berbagai BUMN pada tahun 2024 yang mencapai Rp304 triliun (turun sebesar 7,03 persen dibandingkan tahun 2023) bagaimanakah alokasi pemanfaatannya? Jangan sampai kedua orang ini atas nama Presiden RI Prabowo Subianto kongkalikong menggunakannya sesuka hati (at will) dan tidak ada porsi yang dibagi kepada BUMN sebagai kontributornya? Dan, banyak lagi pertanyaan penting serta krusial lainnya jika forum strategis RUPS BUMN yang sah secara hukum konstitusi dikooptasi hanya oleh Peraturan Pemerintah.
*(Penulis adalah Ekonom Konstitusi)
 
                         
                                 
                                             
                                             
                                             
                                                 
                                                 
                                                 
                                                 
                                                 
                                                
Artikel Terkait
Gempa Magnitudo 3.5 Guncang Kaur Bengkulu Hari Ini, BMKG: Masih Data Awal
Pengusaha Bakso Tegal di Korsel Puji Prabowo: Kebijakan Sangat Mempermudah PMI
Wakil Wali Kota Bandung Erwin Bantah OTT KPK: Saya Hanya Saksi
Kisah Mencekam Shaugi: Gangguan Gaib di Kontrakan Angker Hingga Pocong di Rumah Sakit