TI Indonesia Endus Dugaan Korupsi Proyek MBG, Picu Kerugian Negara Segini!

- Selasa, 01 Juli 2025 | 13:30 WIB
TI Indonesia Endus Dugaan Korupsi Proyek MBG, Picu Kerugian Negara Segini!




GELORA.ME - Lembaga nir-laba independen, Transparency International (TI) Indonesia menemukan potensi kegagalan dan ruang korupsi yang sistemik dari program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang dicanangkan oleh pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.


Berdasarkan kajian dengan pendekatan Corruption Risk Assessment (CRA), TI Indonesia mengidentifikasi sejumlah potensi masalah dari program MBG yang memiliki estimasi anggaran hingga Rp 400 triliun dan target 82,9 juta penerima manfaat.


Masalah pertama yang disampaikan TI Indonesia ialah tidaknya regulasi yang mengatur pelaksanaan program MBG. 


Hingga sekarang, MBG dilaksanakan hanya dengan petunjuk teknis sehingga TI Indonesia menilai program tersebut tidak memiliki pijakan hukum yang cukup dan mengaburkan mandat lintas sektor.


Persoalan lainnya ialah penunjukan mitra pelaksana Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang dianggap dilakukan tanpa mekanisme verifikasi terbuka.


“Beberapa yayasan pengelola diketahui memiliki afiliasi dengan aktor politik, institusi militer dan kepolisian, serta kelompok kekuasaan tertentu. Sebagai contoh, polisi lalu lintas yang seharusnya bertugas menjaga keamanan, ketertiban dan kelancaran lalu lintas justru terlibat dalam distribusi MBG,” demikian keterangan TI Indonesia, dikutip pada Selasa (1/7/2025).


Hal ini dinilai bisa menciptakan akses preferensial yang merusak prinsip meritokrasi dan netralitas layanan publik.


TI Indonesia juga menyoroti kajian yang menunjukkan proses pengadaan barang dan jasa (PJB) dalam program MBG tidak mengedepankan prinsip transparansi. 


Sebab, TI Indonesia menyebut banyak aktivitas pengadaan dilakukan tanpa dokumentasi terbuka dan tidak dilengkapi dengan sistem pengawasan berbasis data. 


Padahal, dalam Survei Penilaian Integritas (SPI) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sektor PBJ masih mendominasi kasus suap dan gratifikasi dan MBG dinilai menunjukkan indikasi kuat mengarah ke sana.


“Lemahnya pengawasan membuka celah bagi praktik mark-up harga, dengan penggunaan bahan pangan berkualitas rendah atau tidak layak konsumsi. Salah satu preseden implementasi MBG adalah siswa keracunan makan siang. Belum lagi, terkait pengawasan terhadap pengadaan barang dan jasa,” tutur TI Indonesia.


Lebih lanjut, TI Indonesia mengungkapkan bahwa program MBG berpotensi mendorong pelebaran defisit anggaran hingga mencapai 3,6 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).


Artinya, pelebaran tersebut berpotensi melampaui batas maksimal defisit 3 persen PDB sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Keuangan Negara.


TI Indonesia mengungkapkan bahwa kerugian keuangan negara ini ditaksir mencapai Rp 1,8 miliar per tahun di setiap SPPG.


“Program MBG tampak menjanjikan di atas kertas, namun gagal memenuhi prasyarat tata kelola yang sehat. Tingginya kerentanan korupsi dalam program MBG menunjukkan program ini harus di-moratorium segera supaya tidak memperbesar kerugian negara,” ujar Peneliti TI Indonesia Agus Sarwono.


Untuk itu, TI Indonesia mendesak moratorium program MBG, lalu pemerintah segera menyusun dan menetapkan Peraturan Presiden yang menjadi payung hukum utama bagi pelaksanaan program MBG.


Mereka juga meminta Badan Gizi Nasional sebagai pelaksana utama untuk memperkuat kapasitas tata kelola kelembagaannya, hingga melakukan pendekatan segmented coverage yang lebih menekankan pada distribusi yang lebih merata dan berbasis kebutuhan agar bisa memastikan bahwa program menjangkau kelompok sasaran secara lebih adil, terutama bagi kelompok-kelompok rentan di daerah tertinggal, terluar dan terdepan (3T).


Menurut TI Indonesia, harus ada pembenahan total terhadap mekanisme seleksi dan verifikasi mitra pelaksana, khususnya pihak pengelola SPPG yang berlandaskan prinsip pengadaan barang dan/jasa yang adil dan berintegritas.


Mereka juga mendorong adanya pengawasan eksternal perlu diperluas dan dilembagakan secara sistematis. 


Pemerintah pusat dan daerah harus mendorong pelibatan aktif organisasi masyarakat sipil, satuan pendidikan serta komunitas penerima manfaat dalam pengawasan mutu makanan, distribusi, dan penggunaan anggaran.


“Diperlukan audit berkala terhadap pelaksanaan program MBG, baik dari sisi kinerja maupun keuangan. Audit ini harus dilaporkan secara terbuka kepada publik, dan hasilnya dijadikan dasar perbaikan kebijakan secara periodik,” tandas Agus.


Sumber: Suara

Komentar