'Memoar Gagal Keluarga Jokowi'
Oleh: Ali Syarief
Akademisi
Kalau kita boleh bercanda sedikit, ada baiknya kita pinjam istilah dari dunia wayang: keluarga Pandawa yang lurus tapi malang, dan Kurawa yang pongah dan haus kuasa.
Tapi di republik ini, panggungnya tidak sejelas lakon pewayangan. Yang putih bisa berubah abu-abu, yang hitam malah dikata bersih.
Dan dalam cerita ini, izinkan saya menceritakan sebuah keluarga: keluarga Jokowi.
Jangan marah dulu, karena ini bukan dongeng, bukan pula fitnah. Ini hanya catatan seorang rakyat kecil yang doyan menggerutu sambil ngopi.
1. Jokowi: Dari ‘Bersih dan Merakyat’ Menjadi Simbol Nepotisme dan Otoritarianisme Lembut
Mari kita mulai dari si bapak. Presiden dua periode ini dulunya dielu-elukan sebagai “harapan baru”, “tukang kayu dari Solo” yang tak pernah haus kuasa.
Tapi apa lacur? Tahun-tahun terakhirnya justru menunjukkan wajah lain: wajah yang lebih mirip Soeharto versi 2.0, tapi dengan senyum ala warung soto.
Di balik janji pembangunan dan IKN yang kabarnya “lebih hijau dari surga”, Jokowi gagal memberantas korupsi (lihat saja KPK yang dicopot taringnya seperti kucing rumahan), gagal menjaga netralitas lembaga, dan sukses menjadikan Indonesia sebagai panggung sandiwara politik dinasti.
Jokowi adalah bapak dari nepotisme gaya baru. Jika dulu nepotisme dilakukan diam-diam, Jokowi melakukannya terang-terangan, bahkan seolah mengajak rakyat ikut bangga.
Ia mengklaim tak cawe-cawe, tapi hasilnya: semua anak dan menantunya kini berkeliaran di panggung politik bak boyband baru debut.
2. Gibran Rakabuming Raka: Wapres Kilat, Anak Sulung yang “Melesat Tanpa Tes”
Gibran, sang putra mahkota. Dari jualan martabak, lalu melompat ke kursi Wali Kota Solo (menggunakan partai lawan ayahnya), hingga kini menduduki kursi Wakil Presiden termuda, mungkin juga yang paling tidak melalui jalan berliku.
UU diganti, MK dijadikan dapur keluarga, dan rakyat hanya bisa geleng-geleng sambil nyruput kopi pahit.
Bakat Gibran mungkin masih samar-samar, tapi keberuntungannya luar biasa terang.
Ia adalah contoh nyata bagaimana meritokrasi dikubur dalam-dalam demi memberi ruang bagi darah daging sendiri.
Mungkin dia belum gagal secara administratif—karena belum sempat kerja betulan—tapi secara moral dan etik, Gibran adalah kegagalan monumental.
Ia menandai betapa institusi-institusi negara bisa dibengkokkan hanya untuk mengantar satu anak ke kursi kekuasaan.
3. Kaesang Pangarep: Dari Pisang Nugget ke Pimpinan Partai
Kaesang, si bungsu yang dulu lebih dikenal karena pisang nugget-nya, kini menjelma menjadi Ketua Umum PSI dalam waktu yang lebih cepat dari durasi masak mi instan.
Tidak jelas track record politiknya, tidak dikenal kiprah intelektualnya, apalagi perjuangan akar rumputnya.
Tapi tahu-tahu, dia jadi Ketua Umum partai yang katanya “anak muda banget.”
Kegagalannya bukan soal jabatan itu sendiri, melainkan tentang bagaimana proses politik kehilangan makna.
Ketika Kaesang masuk ke dunia politik bukan karena kapabilitas, tapi karena nama belakang, maka pesan yang dikirim ke seluruh anak muda Indonesia adalah: “Jangan repot-repot belajar, cukup jadi anak presiden.”
4. Bobby Nasution: Dari Menantu ke Gubernur—Proyek Dinasti Tanpa Keringat
Bobby, sang menantu, akhirnya berhasil naik tingkat: dari Wali Kota Medan langsung duduk manis di kursi Gubernur Sumatera Utara. Ini bukan dongeng, ini kenyataan yang terjadi di negeri demokrasi rasa feodal.
Belum sempat publik menilai secara jernih prestasinya di Medan—karena belum ada yang benar-benar menonjol selain baliho dan jargon—Bobby sudah lebih dulu meloncat ke level provinsi.
Ia bukan naik karena desakan rakyat atau prestasi yang mendesak, melainkan karena nama belakang dalam silsilah keluarga kekuasaan.
Ia adalah contoh bahwa di era Jokowi, kekuasaan bukan hasil kerja keras atau rekam jejak panjang, tapi cukup bermodal restu dan relasi.
Politik seperti ini tidak memberi ruang pada yang kompeten, tapi pada yang kebetulan serumah dengan presiden.
Jika dulu kita resah dengan para jenderal yang mewariskan dinasti, sekarang kita menghadapi versi baru: presiden sipil yang tak kalah lihai mewariskan kekuasaan. Bobby hanyalah pion dari papan catur besar bernama “Proyek Abadi Jokowi”.
Penutup: Dari Jokowi ke Jokowers, Kita Semua Korban Romantisme yang Patah
Kalau dulu rakyat memilih Jokowi karena dia beda dari elite lama, kini rakyat hanya bisa mengelus dada, sebab Jokowi ternyata hanya membawa elite lama dengan cara yang lebih halus—lebih senyum, lebih lembut, tapi sama busuknya.
Keluarga ini bukan sekadar keluarga. Mereka adalah simbol dari satu era yang mulai ditingkahi bau pembusukan kekuasaan.
Dari politik dinasti, penyusunan UU pesanan, pelemahan institusi, sampai pembentukan ilusi “kepemimpinan muda” yang sebenarnya hanya proyek pelestarian kuasa.
Seseorang pernah berkata: jika satu orang salah, mungkin itu nasib. Tapi jika semua keluarga ikut salah arah, itu namanya sistem yang sengaja dibangun untuk gagal.
Dan kita? Kita hanya bisa menulis, sambil menanti siapa lagi yang akan diorbitkan—mungkin cucunya, mungkin tukang becak di Solo yang tiba-tiba mengaku paman jauh Jokowi.
Bukan main!
Begitulah gaya kita di republik ini. Mau melawan? Ya minimal, jangan lagi pilih mereka.
Jangan lagi kita dikibuli atas nama ‘kerja, kerja, kerja’, padahal sejatinya: ‘kuasa, kuasa, kuasa’. ***
Sumber: FusilatNews
Artikel Terkait
HEBOH Ijazah Jokowi Dicetak di Pasar Pramuka, Tim Kampanye 2014 Akhirnya Buka Suara!
Politisi Senior PDIP Bicara Terkait Pencetakan Ijazah Jokowi, Dokter Tifa Temukan Beberapa Fakta Mencegangkan!
Terbukti Hasil Suap Perkara, Duit Rp 915 Miliar dan Emas 51 Kg Milik Zarof Ricar Disita untuk Negara
Kejagung Jangan Takut Ungkap Keterlibatan Budi Arie dalam Kasus Judol