Saran GM: Fokus ke Gibran Saja

- Kamis, 08 Mei 2025 | 08:45 WIB
Saran GM: Fokus ke Gibran Saja


DI tengah publik yang ramai-ramai mengusut kebenaran klaim soal ijazah palsu Joko Widodo, terdengar suara jernih dari sesepuh bangsa. Jurnalis dan budayawan senior Goenawan Mohamad (GM) memang tak pernah berteriak, tapi kata-katanya seperti palu godam: “Sudahi sajalah soal ijazah palsu Jokowi, fokus ke Gibran saja.”

Di sebuah negeri yang konon demokratis --dengan catatan kaki panjang yang selalu diselipkan di belakang brosur kampanye-- kita sedang menyaksikan sebuah pertunjukan intelektual kelas sirkus. Para pesulap sibuk mengalihkan perhatian dari panggung utama, sementara badut-badut politik melontarkan lelucon lama: “Mana ijazahmu, Pak?”

Ijazah Jokowi? Ah, itu sudah seperti sinetron Netflix: panjang, repetitif, tapi tetap ditonton walau semua sudah tahu akhirnya. Tak ada dampak nyata dari membuka atau menutup misteri selembar kertas ijazah Jokowi itu. Pemiliknya sudah turun panggung, tak lagi menjabat sebagai presiden. Kekuasaannya sudah tanggal.

Entah ijazahnya benar atau palsu, dalam logika GM, toh negara ini sudah terlanjur dipimpin olehnya. Keputusan-keputusan sudah ditandatangani atas namanya. Mau dibatalkan semuanya? Mau disuruh ngulang jadi wali kota lagi? Kalau memang salah, kenapa dari dulu Anda tidak awas? Kenapa membiarkannya terpilih?

Kembali ke seruan GM --yang jelas bukan karena dendam-- ini soal logika dasar. Kita sedang bicara tentang masa depan republik, bukan nostalgia drama konspirasi. Coba lihat Gibran: tampan, muda, pewaris tahta, dan tentu saja… misterius. Ia muncul di panggung nasional secepat mi instan matang, lengkap dengan topping elektabilitas dari bapaknya.

Latar pendidikannya? Siapa yang benar-benar tahu, selain dirinya sendiri dan mungkin orang tuanya? Katanya, ia sekolah bisnis di luar negeri, di Singapura dan Australia. Katanya juga, dia hanya ikut paket persiapan masuk perguruan tinggi di luar negeri, yang entah bagaimana bisa diakui setara SMA oleh pemerintah?

Tapi mari kita pakai standar warganet: “Katanya” bukan bukti. Maka kita perlu menagih kepadanya: Mana ijazahmu? Tunjukkan. Jangan mengumpet seperti meniru bapak. Jika lulus SMP atau SMK, mana buktinya? Jika pernah kuliah, apakah pernah ikut sidang skripsi? Pernah disidang dosen atau hanya disidang netizen?

Dan gugatan-gugatan ini bukan sekadar soal selembar kertas ijazah. Ini soal jalur legitimasi kekuasaan yang dia genggam. Gibran adalah Wakil Presiden. Wakil dari Prabowo Subianto, yang --nama juga manusia-- bisa saja sewaktu-waktu sakit atau berhalangan, dan sesuai konstitusi, kekuasaan akan berpindah ke wakilnya.

Maka, demikian logika GM, penting --bukan sekadar wajar-- bagi publik untuk tahu dasar intelektual Gibran. Apa rekam jejak akademiknya? Apakah ia sampai di sana karena kompetensi, atau semata karena relasi dan revisi konstitusi? Tentu, kalau kita bertanya begini, akan ada buzzer yang berkata, “Kamu iri, ya?”

Tidak, Bung. Kami bukan iri. Kami cuma sadar, walau sedikit terlambat, bahwa republik yang kita cintai ini terlalu mahal untuk ditukar dengan ijazah misterius dan politik keluarga. Bayangkan, jika semua anak pejabat bisa langsung masuk istana hanya bermodal nama belakang. Republik atau dinasti?

Di negeri ini, kalau Anda menjual bakso di lokasi tertentu tanpa izin, bisa disita gerobak Anda, atau paling tidak diusir dari sana. Tapi kalau Anda menjual kekuasaan tanpa transparansi, malah diberi panggung dan pengawal.

GM tak sedang nyinyir. Ia sedang mengingatkan. Dalam sunyi, ia menyodorkan cermin ke wajah kita semua. Supaya kita bertanya: kenapa kita lebih sibuk membongkar masa lalu yang tak bisa diubah, daripada menguliti masa kini yang sedang menentukan masa depan?

Masa kini dan juga masa depan--maksudnya Gibran. Dan jangan salah: ini bukan hanya soal Gibran. Ini tentang siapa pun yang merasa bisa melompat tangga kekuasaan tanpa memperlihatkan tangga yang dipijaknya. Tentang sistem yang memberi jalan pintas bagi yang punya nama, tapi jalan buntu bagi yang hanya punya otak dan etika.

Maka mari kita usut. Bukan karena benci, tapi karena cinta. Cinta pada republik yang sehat, adil, dan percaya bahwa jabatan bukan warisan, tapi amanat. Sebab, kalau pertanyaan kritis terus dianggap sebagai fitnah, jangan salahkan jika suatu hari kita memilih presiden dari hasil undian arisan keluarga.

Fokus ke Gibran. Dan kalau nanti terbukti ijazah Gibran valid? Hebat. Rasa penasaran publik terbayar. Demokrasi menang. Dan kita semua bisa tepuk tangan --bukan karena sirkusnya, tapi karena akal sehatnya.

Tapi kalau ternyata tidak? Maka kita bukan sekadar menonton sirkus. Kita sedang tinggal di dalamnya. Selamat datang di Republik Ijazah. Di mana gelar adalah jubah, dan kejujuran hanyalah ilusi panggung.

OLEH: AHMADIE THAHA
Penulis adalah Wartawan Senior
______________________________________
Disclaimer: Rubrik Kolom adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan GELORA.ME terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi GELORA.ME akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

Komentar