Ketika desa dihidupkan, kota ditata ulang, dan orientasi politik tak lagi pada proyek mercusuar bernama Nusantara.
Pembersihan bukan berarti pemecatan massal. Prabowo dan timnya tahu bahwa sistem terlalu kompleks untuk dibongkar secara frontal.
Maka yang dilakukan adalah menyelam ke dalam struktur, memetakan siapa yang sungguh setia, siapa yang menunggu momentum untuk berpaling, dan siapa yang masih menjalankan agenda Jokowi.
Loyalis seperti Luhut, Sri Mulyani, dan Mahfud mungkin masih dianggap aset.
Tapi bila mereka terlalu erat dengan agenda masa lalu, besar kemungkinan mereka akan “dinaikkan ke rak paling tinggi”—diberi posisi kehormatan, namun jauh dari pusat pengaruh.
Sementara itu, tokoh-tokoh baru seperti Bursah Zarnubi, Fandi Wijaya, atau Abdullah Rasyid bisa jadi sedang diukur kapasitasnya—apakah mereka hanya simbol keberagaman diskusi, atau calon-calon aktor di panggung kabinet mendatang?
Ini bukan kudeta internal. Ini pergeseran yang menggunakan ketenangan sebagai alat utama.
Sebab Prabowo belajar dari sejarah: mereka yang tergesa dan menggertak di awal, akan habis di tengah jalan.
Maka Dasco tak perlu mengangkat suara. Ia hanya perlu menyusun irama baru.
Jika benar Eggi Sudjana bisa duduk berdampingan dengan kekuasaan yang dulunya ia lawan habis-habisan, maka dua hal telah terjadi sekaligus:
Pertama, kekuasaan telah membuka pintunya.
Kedua, sistem Jokowi perlahan kehilangan perisai suci bernama “tidak tergantikan”.
***
Sumber: FusilatNews
Artikel Terkait
Gilang Paksa Hadiri Pemakaman Cindy, Istri yang Tewas Usai Bulan Madu: Apa yang Sebenarnya Terjadi?
VIDEO CALL SEKS JEBAK PENGUSAHA SAWIT, UANG RP 1,6 MILIAR MELAYANG
Haru! Azan Pertama Berkumandang di Gaza Usai Gencatan Senjata Hamas-Israel, Suasana Damai Menyentuh Hati
Video Terakhir Cindy Istri Gilang Kurniawan: Anjay Nikah Sebelum Tewas Tragis Saat Honeymoon