Balada Bayar, Bayar, Bayar

- Senin, 24 Februari 2025 | 08:30 WIB
Balada Bayar, Bayar, Bayar

Beberapa tetangganya terkejut. “Lho, kok bisa, seorang guru SDIT main punk?” Pertanyaan ini menarik. Seolah-olah ada aturan tak tertulis bahwa guru hanya boleh mendengarkan musik reliji atau minimal campursari. Seolah-olah menjadi punk itu tabu.


Seolah-olah mengajarkan anak membaca doa sebelum makan tidak boleh dikombinasikan dengan bermain musik yang mengkritik realitas sosial. Seolah-olah mengaji dan tilawah al-Qur’an itu tidak boleh dipanjang-pendekkan, dibaca dengan nada-nada indah.


Namun, justru dari sini api perlawanan terhadap budaya “bayar, bayar, bayar ke polisi” tumbuh. Ironisnya, bukan dari akademisi mapan atau aktivis dengan teori revolusi yang kompleks, tetapi dari seorang guru yang sempat memakai topeng superhero di atas panggung.


Dan kini, lagu “Bayar, Bayar, Bayar ” malah berubah menjadi anthem perlawanan. Di tengah pemerintahan Prabowo yang mengangkat hampir semua elemen ke dalam kabinet untuk meminimalisir oposisi, justru gerakan protes ini muncul dari lapisan yang tak terduga.


Keberanian rakyat bangkit dari seorang guru SDIT, dari anak-anak punk di jalanan, dari orang-orang yang mulai sadar bahwa ekonomi membuat mereka terperosok ke dalam kelas prekariat. Hanya dari sebuah lagu dengan lirik sederhana tentang budaya “bayar” terus-terusan ke oknum.


Dulu, ada pertanyaan yang cukup mendasar: apakah gerakan non-agama bisa memobilisasi massa? Apakah tanpa simbol-simbol religius, masyarakat masih bisa bergerak bersama? Kini, jawabannya mulai terlihat nyata: iya!


Setelah ormas Islam ditekan melalui pengelolaan tambang dan partai politik disandera dengan kasus korupsi, suara protes itu ternyata tetap ada. Ia muncul dari para pekerja yang kehilangan daya beli, dari anak-anak muda yang melihat masa depan makin suram.


Juga, dari rakyat yang dulu apatis tapi kini geram. Dan ironisnya, api itu dinyalakan oleh sebuah lagu punk yang nyaris terlupakan.


Akhirnya, kita kembali ke pertanyaan awal: mengapa para personel band Sukatani menarik lagu mereka? Apakah mereka takut? Apakah mereka ditekan saat dipanggil pihak Polda Jawa Tengah, di Semarang? Ataukah mereka hanya ingin menghindari polemik berkepanjangan?


Yang jelas, apa yang terjadi pada lagu “Bayar, Bayar, Bayar” adalah cerminan bagaimana kritik di negeri ini diperlakukan. Kritik boleh ada, tapi sebaiknya tidak terlalu keras. Kritik boleh diungkapkan, tapi harus diiringi dengan permintaan maaf, tapi lebih baik kalau tidak viral.


Mungkin di masa depan, jika ada musisi yang ingin membuat lagu kritik, mereka harus menambahkan disclaimer di awal lagu: “Lagu ini dibuat tanpa niat menyinggung pihak mana pun. Semua nama dan kejadian hanyalah fiksi belaka, suatu kebetulan yang tidak disengaja.”


Dan jika ingin lebih aman lagi, judul lagunya tidak lagi “Bayar, Bayar, Bayar,” tetapi “Doa dan Harapan untuk Kebaikan Semua Pihak.” Tapi tentu saja, yang demikian bukan punk. Dan band Sukatani serta para punk lainnya pasti tahu itu.


*(Penulis adalah Pemerhati Kebangsaan, Pengasuh Pondok Pesantren Tadabbur Al-Qur'an)

Halaman:

Komentar