“Dari data yang ada, pabrik Sepatu Bata sebelum penutupan hanya menyisakan 233 orang karyawan dan produksi yang hanya 30 persen dari kapasitas. Di sisi lain terjadi juga penurunan produksi di pabrik tersebut, dari sebelumnya 3,5 juta pasang pada tahun 2018, menurun menjadi 1,15 juta pasang di tahun 2023," kata Adie.
Dampaknya, lanjut dia, PT Sepatu Bata Tbk mengalami peningkatan kerugian setiap tahun. Lalu terus menurunnya nilai aset, menurunnya ekuitas, serta liabilitas yang terus meningkat.
Di sisi lain, penjualan Bata melalui toko-toko yang dimilikinya dalam dua tahun terakhir cenderung mengalami perbaikan. Manajemen menyampaikan bahwa merek di bawah naungan PT Sepatu Bata Tbk seperti North Star, Power, Marie Claire, Bubblegummers, dan Weinbrenner masih berada di hati konsumen serta preferensi yang cukup baik di mata konsumen.
“Kami melihat strategi ini penting bagi perusahaan, seperti halnya merek-merek besar sepatu global yang berfokus pada pengembangan produk dan merek," katanya.
Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mengungkapkan industri sektor padat karya perlu menjadi perhatian terkait tutupnya pabrik sepatu PT Sepatu Bata Tbk (BATA) di Purwakarta, Jawa Barat. "Jadi hal semacam ini, industri padat karya kita harus menjadi perhatian, karena kita melihat bahwa kalau investasi yang masuk saat ini juga mulai beralih dari sektor padat karya ke padat modal, karena akan semakin sulit bagi sektor padat karya saat ini," ujar Ketua Umum Apindo Shinta W Kamdani di Jakarta, Rabu.
Shinta mengatakan, memang melihat secara menyeluruh dari faktor permintaan di mana bukan hanya domestik, melainkan juga demand dari luar dan dia melihat demand ekspor menurun tajam. "Ini kembali lagi soal cost yang terus meningkat, dan pada akhirnya perusahaan seperti Bata walaupun sudah hadir begitu lama di Indonesia harus melihat apakah masih feasible sebagai bisnis," katanya.
Memang dilihat saat ini dari kondisi yang ada, dengan daya saing dan hal-hal lainnya dianggap tidak feasible bagi mereka untuk terus berlanjut. Dengan kondisi geopolitik yang terjadi dan dampaknya mempengaruhi terhadap Indonesia, ini juga mempengaruhi penyerapan (absorb) pasar luar dan hal itu untuk pasar ekspor.
Sedangkan untuk pasar domestik mesti melihat dari faktor daya beli, karena dengan kondisi seperti ini maka daya beli pastinya ada penurunan yang harus diperhatikan. "Jadi dari segi industri seperti Bata itu bukan hanya sekarang, tetapi dia juga on going sudah melakukan evaluasi dan juga melihat dengan kondisi sekarang yang semakin memburuk sehingga dia tidak bisa bertahan lagi," kata Shinta.
Sumber: republika
 
                         
                                 
                                             
                                             
                                             
                                                 
                                                 
                                                 
                                                 
                                                 
                                                
Artikel Terkait
Golden Dome AS Tak Berkutik: Pakar Beberkan Alasan Rudal Nuklir Burevestnik Rusia Tak Terkalahkan
Demo Toba PKL Tuntut Klarifikasi Pendeta Victor Tinambunan, Bupati Turun Tangan
3 Tersangka Penipuan Trading Kripto Rugikan Korban Rp 3 Miliar, Ini Modusnya
Kuota Perempuan di DPR Meningkat: Dukung 30% Keterwakilan Perempuan di Parlemen