GELORA.ME - Pangeran Diponegoro konon dibuat marah oleh penerapan hukum Eropa oleh pemerintah kolonial Belanda. Penerapan hukum Eropa ini seiring dengan perjanjian antara Keraton Yogyakarta dengan pemerintah kolonial Belanda yang menciptakan beberapa kerugian.
Salah satu yang diterapkan di pasal delapan disebutkan semua orang asing dan orang Jawa yang lahir di luar wilayah kerajaan, akan diperlakukan menurut hukum pemerintah kolonial. Sebenarnya klausul ini dirancang untuk maksud baik, yakni melindungi etnis Tionghoa.
Hal ini ternyata membuahkan banyak masalah di penerapannya. Setelah Februari 1814, ketika pengadilan residen dibentuk, semua proses pengadilan atau litigasi yang melibatkan orang Tionghoa, warga asing, kaum pendatang, dan orang - orang lain yang lahir di luar teritorial keraton Jawa selatan - tengah diadili di bawah hukum pemerintah Eropa, sebagaimana dikutip dari "Takdir Riwayat Pangeran Diponegoro 1785 -1855".
Hal ini menimbulkan ketidakpuasan dan kekecewaan di semua lini masyarakat. Pihak penguasa keraton Jawa tidak puas dengan pembatasan - pembatasan pada wilayah kewenangan hukum mereka, petani Jawa harus berjuang melawan suatu sistem hukum lain yang asing.
Tak ketinggalan komunitas - komunitas agama menyesalkan bahwa pengadilan agama atau surambi tidak lagi menjadi satu-satunya lembaga pengadilan untuk menyelesaikan kasus-kasus kriminal. Inilah yang menyebabkan akhirnya Pangeran Diponegoro dengan pengetahuan hukum Islam Jawa yang kuat turut menentangnya.
Artikel Terkait
Kritik Ferdinand Hutahean Soal Utang Kereta Cepat Whoosh: Beban APBN Triliunan Akibat Kebijakan Jokowi?
Uya Kuya Ungkap Dalang Penjarahan Rumahnya: 99% Adalah Fitnah yang Diorkestrasi
Presiden Prabowo Diragukan Hadir di Kongres Projo 2025, Ini Alasan Strategisnya
Torpedo Nuklir Poseidon Rusia: Uji Coba Sukses, Daya Ledak 100 Megaton, Ancaman Nyata bagi AS