Saldi berpendapat persoalan persyaratan usia sudah menjadi Open Legal Policy, pembentuk undang undang. Ketentuan itu telah menjadi yurisprudensi, sudah rujukan untuk menolak permohonan berkaitan batas usia calon.
Sayang hal yang sederhana dan terlihat dengan jelas sifat Open Legal Policynya justru diambil alih Mahkamah untuk memutus. "Jika hal ini terus dilakukan Saya sangat cemas dan khawatir Mahkamah sedang menjebak diri dalam pusaran politik, Quo Vadis Mahkamah," tutup Saldi mengakhiri dissenting opinionnya
Sementara Hakim Konstitusi Arief Hidayat dalam dissenting opinionnya juga mengungkap adanya keganjilan lain. Dari kelima perkara Aquo ia, merasakan adanya kosmologi negatif dan keganjilan yang sangat mengusik hatinya sebagai hakim yang harus memutus secara independen, parsial, bebas dari intervensi politik.
Keganjilan dan keanehan itu dirasakan dalam penjadwalan sidang yang terkesan lama dan ditunda tunda. Catatan administrasi pada kepaniteraan dan sekretariat jenderal MK. Persidangan permohonan menuju pemeriksaan persidangan dengan agenda mendengarkan keterangan DPR dan presiden terkesan terlalu lama, memakan waktu hingga 2 bulan "Meski itu tidak melanggar namun berpotensi menunda keadilan," ujarnya saat membacakan dissenting opinionnya.
Hal ini menurutnya, ketidaklaziman selama 10 tahun menangani perkara di MK, karena itu dia mengusulkan agar MK menetapkan waktu yang wajar antara sidang perbaikan, dengan pemeriksaan persidangan hingga mendengarkan keterangan pihak pemerintah dan DPR.
Ia sempat mempertanyakan ketidak hadiran Hakim Ketua pada sidang perkara nomor 29, 51, 55. Saat itu ia memperoleh penjelasan dari wakil Ketua ketidakhadiran Ketua dikarenakan menghindari adanya konflik kepentingan. Sebab perkara yang akan diputus berkaitan erat dengan keluarga yang akan dicalonkan menjadi wakil presiden.
Sehingga perkara Nomor 29, 50 dan 55 diputus dengan mayoritas menolak. Meski ada yang berpendapat lain. Tetapi, justru dalam perkara 90 dan 91, Ketua malahan ikut membahas dan memutus perkara tersebut. Ini menurut Arif sebuah tindakan diluar nalar dan tidak dapat diterima sebagai penalaran yang wajar. Saat dipersoalkan dalam sidang RPH. Ketua Hakim mengaku sakit sehingga tidak bisa terlibat di sidang perkara 29, 50 dan 51.
Sementara itu, Hakim Wahiduddin Adams dalam disentingnya menilai, Mahkamah yang mengabulkan permohonan ini, baik seluruhnya maupun sebagian, sejatinya yang terjadi adalah Mahkamah melakukan praktik yang lazim dikenal sebagai ”legislating or governing from the bench” tanpa didukung dengan alasan-alasan konstitusional yang cukup (sufficient reason) dalam batas penalaran yang wajar.
Mahkamah dianggap telah masuk terlalu jauh dan dalam, ke salah satu dimensi dan area yang paling fundamental bagi terselenggaranya kekuasaan legislatif yang baik dan konstitusional, yakni fungsi representasi parlemen dari prinsip “kedaulatan rakyat” sebagaimana diatur Pasal 1 ayat (2) UUD RI Tahun 1945. "Saya berpendapat Mahkamah seharusnya menolak permohonan pemohon,” ujar Wahiduddin memberi pandangan.
Masyarakat Menentang Putusan MK
Tidak hanya mendapat kritik sesama hakim, putusaan itu juga ditentang banyak kalangan, baik kelompok orang yang tergabung dari kalangan akademisi, mantan komisioner KPK, pekerja seni, rohaniawan, jurnalis, mendeklarasikan Maklumat Juanda,sebagai bentuk memprotes terhadap putusan MK tersebut.
Usman Hamid salah satu Deklarator Maklumat Juanda, menyebut putusan itu kentara muatan unsur politik, dugaan MK ingin melanggengkan dinastinya.
"Politik dinasti terasa kental ketika Presiden menyalahgunakan kekuasaan yang sedang dipegangnya untuk mengistimewakan keluarga sendiri. Anak-anaknya yang minim pengalaman dan prestasi politik menikmati jabatan publik maupun fasilitas bisnis yang tak mungkin didapat tanpa status anak Kepala Negara/Presiden yang berkuasa." demikian salah satu kutipan isi maklumat Juanda.
Namun semua pihak menyadari bagaimanapun putusan Mahkamah Konstitusi meskipun dinilai buruk harus tetap dijalankan, karena putusan MK bersifat final dan mengikat, artinya tidak ada alternatif dan sarana lain untuk mengoreksi putusan tersebut. Putusan telah mengikat semua pihak, tidak hanya pihak berperkara. Termasuk pihak pihak terkait.
Menyikapi putusan itu, Denny Indrayana menilai Putusan 90 soal syarat umur cacat konstitusional tidak sah, "Sehingga tidak bisa menjadi dasar pencalonan dalam pilpres 2024," tulis Denny dalam siaran pers yang dikirim VOI.
Dia mengaku melihat celah dari keputusan MK itu terutama soal Konflik Interes salah satu hakim yang menyidangkan kasus tersebut. Bahwa Undang-undang Kekuasaan Kehakiman mengatur “Seorang hakim ... wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila ia mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa ”. Akibat dari tidak mundurnya hakim yang mempunyai benturan kepentingan tersebut maka “...putusan dinyatakan tidak sah” Hal itu bisa lihat Pasal 17 ayat (5) dan (6) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman,” kata Denny menanggapi putusan MK tersebut.
Lebih jauh ia menambahkan, karena MK berdasarkan Pasal 24A ayat (2) UUD 1945 secara tegas dinyatakan sebagai kekuasaan kehakiman, maka ketentuan ketidakabsahan putusan yang diatur di dalam UU Kekuasaan Kehakiman tersebut, juga berlaku dan mengikat Mahkamah Konstitusi.
Bahwasanya hakim konstitusi harus mundur jika ada benturan kepentingan dalam penanganan perkara yang terkait keluarganya. Juga diatur secara tegas di dalam Peraturan Mahkamah Nomor 9 Tahun 2006, khususnya dalam Prinsip Kedua Ketidakberpihakan, butir 5 huruf b, yang mengatur: "Hakim konstitusi, harus mengundurkan diri dari pemeriksaan suatu perkara, karena alasan-alasan diantaranya Hakim konstitusi tersebut atau anggota keluarganya mempunyai kepentingan langsung terhadap putusan," terangnya.
.
"Tidak mundurnya seorang hakim konstitusi dari suatu perkara ketika ada benturan kepentingan yang terkait dengan kepentingan langsung keluarganya terhadap putusan, akan membawa konsekuensi hukum bahwa putusan MK yang demikian menjadi TIDAK SAH," papar Denny.
Sementara Ketua Bidang Studi Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, Fitra Arsil, berharap ada akademisi yang mulai mengkaji putusan MK yang kontroversial itu. Bukan hanya soal amarnya yang perlu dikaji, tetapi sampai dengan legal standing pemohonnya.
Menurut Fitra, sebenarnya belakangan ini MK, sudah makin ketat dalam menerima permohonan uji materi. Ketat dalam menentukan pihak mana yang benar-benar memiliki kerugian konstitusional, mereka mensyaratkan kerugiannya harus aktual, berdasarkan penjelasan yang potensial.
Fitra menilai apa yang terjadi di MK akhir akhir ini tidak sesuai dengan prinsip prinsip kekuasaan kehakiman yang harus independen, imparsial dan kompeten. ”Ini harus kita bawa ke depan, karena ini sudah merusak kekuasaan kehakiman," ujarnya .
Kalau ingin melihat apa yang terjadi, ia menyarankan, membawa kasus untuk proses Mahkamah Etik, Misalnya mereka hakim yang sudah menyampaikan pendapat berbeda harus dimintai keterangan. Sehingga bisa terlihat apa yang sebenarnya terjadi. Menurut Fitra isi dissenting hakim bukan berisi dissenting opinion, tetapi mereka menyampaikan prosesnya. "Jadi seperti Curhat! apa yang terjadi," katanya.
Itu menjadi indikasi, harus ditindak lanjuti, karena mereka melihat sesuatu yang aneh dan membingungkan. "Ini saya kira bisa menjadi pintu masuk untuk melihat apa sebenarnya yang terjadi, kenapa mereka sampai bingung," katanya.
Sumber: voi
Artikel Terkait
BMKG Peringatkan Cuaca Ekstrem Hujan Lebat Landa Indonesia Hingga 6 November 2025, Ini Daftar Wilayahnya
Prediksi Persib vs Bali United: Thom Haye Kunci Kemenangan Tanpa Guaycochea
Presiden Prabowo Minta Guru Bahasa Inggris dari Selandia Baru untuk Latih Calon PMI
Polisi Ungkap Modus Penipuan Kripto Rp 3 Miliar: Profesor Palsu Ramal Runtuhnya Pasar Saham