GELORA.ME - Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang batas usia calon presiden dan calon wakil presiden, yang dianggap memberi "karpet merah" bagi pencalonan Gibran Rakabuming Raka putra presiden Jokowi terbukti.
Koalisi Indonesia Maju (KIM) akhirnya resmi mengumumkan mengusung Gibran sebagai calon wakil presiden mendampingi Capres Prabowo Subianto, Minggu 22 Oktober malam
Masyarakat, yang sejak semula menduga putusan Mahkamah Konstitusi (MK) itu akan digunakan sebagai karpet merah untuk memuluskan Gibran, terjawab. Meski putusan MK telah diberlakukan. Namun upaya meminta pertanggung jawaban MK tak berhenti sampai di situ. Sejumlah kalangan masih mempersoalkan putusan itu.
Setidaknya belasan laporan pelanggaran etik membanjiri Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK). Hakim MK, Enny Nurbaningsih mengkonfirmasi telah ada 13 laporan ke MKMK, 7 laporan sudah terimanya. Selanjutnya, sudah dipastikan MKMK akan disibukan dengan penanganan laporan dugaan pelanggaran etik yang masuk, termasuk laporan pelanggaran etik yang terkait Hakim Ketua Anwar Usman dalam perkara pengujian batas usia.
Laporan kepada Anwar Usman antara lain dilayangkan mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM di jaman SBY, Denny Indrayana. Ia melapor Usman pada 27 Agustus 2023 atas dugaan konflik kepentingan saat menyidangkan perkara yang berhubungan dengan kerabatnya.
Laporan dugaan pelanggaran etik juga dilayangkan Pergerakan Advokat Nusantara dan Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) pada Rabu, 18 Oktober atau sehari putusan dibacakan. TPDI melaporkan Anwar telah melanggar etik dalam penanganan perkara 29-51-55-90-91-92/PUU-XXI/ 2023. Anwar diduga melanggar Pasal 17 Ayat (3), (4) dan (5) UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Gugatan Seorang Mahasiswa Pengagum Gibran
Seperti diketahui Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan Perkara 90 uji materi tentang batas usia calon wakil presiden /calon presiden. Putusan itu menimbulkan pro dan kontra, karena dinilai memuluskan keponakannya, Gibran Rakabuming Raka maju menjadi calon wakil presiden.
Gugatan itu berawal dari permohonan yang diajukan Almas Tsaqibbirru seorang Mahasiswa Universitas Surakarta. Almas mengajukan permohonan terkait batas usia pencalonan menjadi capres dan cawapres Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Mahkamah Konstitusi dalam amarnya menyatakan: Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian. Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Bertentangan dengan UUD, sepanjang tidak dimaknai 'berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui Pemilihan Umum termasuk Pemilihan Kepala Daerah'.
Dengan keputusan itu seseorang yang belum berusia 40 tahun berkesempatan untuk menduduki jabatan wakil presiden dan jabatan presiden. Karena putusan itu telah meng alternatifkan, meski seeongan belum berusia 40 tahun mereka berkesempatan dicalonkan sebagai calon wakil dan presiden asalkan pernah dan sedang menduduki jabatan yang dipilih oleh pemilihan umum.
Mahkamah memberikan peluang kepada calon memiliki dua pintu masuk, yakni memenuhi syarat usia telah 40 tahun atau memiliki pengalaman sebagai pejabat penyelenggara negara yang dipilih rakyat dari hasil pemilihan umum.
Dalam putusan itu Mahkamah memastikan, ketentuan Pasal 169 huruf q UU Pemilu sebagaimana dimaksud berlaku mulai pada Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2024 dan seterusnya.
Tak Sekadar Dissenting Opinion
Atas putusan Mahkamah Konstitusi ini orang kemudian ribut, orang langsung menghubungkan kepentingan Anwar Usman sebagai Hakim MK dengan keponakannya yang akan dicalonkan dengan capres tertentu. Ada kecurigaan Anwar diduga bermain dalam putusan itu.
Tidak hanya masyarakat yang mempersoalkan putusan itu. Sebagian hakim, dari 9 hakim yang menyidangkan perkaranya, merasa bingung dan mengaku aneh dengan putusan Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023. Sebab sebenarnya ada 5 perkara lain yang diputus MK terkait permohonan pengujian batas usia calon presiden dan wakil presiden seperti bunyi Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, hanya Perkara 90 itu yang dikabulkan.
Menurut Hakim Konstitusi Saldi Isra, perkara pengujian tentang batas usia terbagi dalam dua gelombang. Untuk perkara gelombang pertama, yakni perkara nomor 29, 50, 51 /PUU-XXI/2023 telah diputus 8 hakim karena Hakim Anwar Usman tidak ikut serta. Semua perkaranya diputus dengan amar ditolak, meski ada sebagian hakim yang berpendapat lain atau dissenting opinion.
Namun justru di putusan gelombang kedua, dimana ada kehadiran hakim ketua tiba tiba putusan berubah. "Baru kali ini saya mengalami peristiwa aneh dan luar biasa. Jauh dari batas penalaran yang wajar. Mahkamah berubah pendirian dan sikapnya dalam sekelebat," ujarnya dalam Dissenting Opinion yang dibacakan di Sidang Pleno, Senin pekan lalu.
Padahal di Putusan Nomor 29, 50, 51 tahun 2023, Mahkamah secara eksplisit, lugas dan tegas menyatakan bahwa norma ihwal usia dalam Pasal 196 Huruf Q, UU 2017, adalah wewenang pembuat undang-undang untuk mengubahnya. "Sadar atau tidak tiga putusan itu telah menutup ruang ada tindakan lain selain pembentuk UU," ujarnya.
Sebenarnya menurut Saldi, ada belasan permohonan untuk menguji pasal 196 huruf q UU 7/ 2017. Namun dari belasan permohonan itu hanya 3 perkara itu yang diperiksa sidang pleno. Namun dalam putusan RPH (Rapat Permusyawaratan Hakim) tertanggal 19 September oleh 8 hakim tanpa dihadiri Ketua Mahkamah. Telah diputuskan, hasilnya 6 hakim secara bulat menyatakan menolak dan tetap memposisikan pasal 196 huruf q, UU 7/2017 sebagai hukum terbuka atau Open Legal Policy yang menjadi kewenangan pembentuk UU, sementara 2 hakim lainnya dissenting opinion.
Sedang pada RPH berikutnya, masih menguji pasal 196 undang yang sama, Perkara 90 dan 91, sidang dihadiri 9 hakim Konstitusi, termasuk hadirnya Ketua Hakim Anwar Usman. Beberapa hakim yang dalam perkara sebelumnya. Telah memposisikan pasal tersebut sebagai hukum terbuka, tiba-tiba menunjukan ketertarikan dengan model alternatif yang dimohonkan perkara Nomor 90.
Padahal model alternatif yang dimohonkan dalam Perkara 90 telah dinyatakan sebagai hukum terbuka dalam keputusan Mahkamah Konstitusi nomor perkara 29, 50, 51. ”Tanda tanda bergesernya pendapat dan pandangan hakim, itu memicu pembahasan yang alot. Sampai sidang terpaksa ditunda beberapa kali.” kata Saldi.
dissenting opinion (depositephoto)
Dalam sidang MK soal gugatan usia capres dan cawapres ada juga hakim yang tidak setuju dengan keinginan penggugat atau dissenting opinion (berbeda pendapat). (IST)
Secara faktual komposisi hakim yang berubah dari 8 hakim menjadi 9 hakim telah mengubah komposisi. Bahkan tidak sekadar membelokan amar putusan, tetapi membalikan 180 derajat putusan dari menolak menjadi mengabulkan.
 
                         
                                 
                                             
                                             
                                             
                                                 
                                                 
                                                 
                                                 
                                                 
                                                
Artikel Terkait
Wapres Gibran Cek Kesehatan Gratis di Puskesmas, Ajak Masyarakat Ikuti Program CKG
Perampok dari Lampung Dihajar Massa Usai Gasak Perhiasan Nenek 75 Tahun di Brebes
3 Jalur Alternatif Bengkulu ke Padang 2024: Rute Tercepat & Paling Aman
KPK Percepat Penyelidikan Korupsi Kereta Cepat Whoosh, Imbau Pihak Terkait Kooperatif