Siapa yang Mendandani Presiden Jokowi—Kalau Benar—Laiknya Amangkurat I?

- Selasa, 22 Agustus 2023 | 11:30 WIB
Siapa yang Mendandani Presiden Jokowi—Kalau Benar—Laiknya Amangkurat I?

Cerita tentang kekejiannya seolah tak akan habis diceritakan dalam semalam. Jangan pernah menyangka kepindahan keraton dari Karta ke Plered itu berjalan normal. Pekerjaan yang dimulai Januari 1648 itu bahkan seolah tak akan pernah berhenti. Usai membangun keraton, ia meminta keraton itu dikelilingi danau. Pada 1661, tiga belas tahun kemudian, sebuah laporan Belanda masih menyebutkan bahwa Sultan tetap sibuk “menjadikan tempat kediamannya itu sebuah pulau”. Dua tahun berikutnya Amangkurat memerintahkan agar dibuat “sebuah kolam besar di sekeliling istananya”. Pada 5 September tahun itu juga Baginda menyiapkan lagi pembuatan sebuah batang air di belakang keraton. Sebulan setelah itu penggalian ”laut”—Segara pun lagi dimulai.


Untuk itu Mataram dimobilisasi. Tiga ratus ribu orang bekerja, bahkan penduduk daerah Karawang dipanggil—tak peduli sawah mereka terbengkalai, dan kontan terjadi kekurangan pangan. Konon, Amangkurat langsung yang mengawasi pembangunannya. Beberapa pejabat tinggi yang tak mau ikut bekerja diperintahkannya untuk diikat, dibaringkan di paseban, dijemur.


Pada 1668, buku De Graaf, “Disintegrasi Mataram di Bawah Mangkurat I”, mencatat pernyataan seorang pejabat VOC bahwa raja berjalan melalui “jembatan di atas parit yang mengelilingi istana”.


Berbeda dengan ayahnya, Amangkurat I juga seorang kolaborator VOC. Pada tahun pertamanya berkuasa, ia menandatangani perjanjian damai dengan VOC. Dengan perjanjian itu VOC bebas ‘berniaga’ di wilayah-wilayah yang dikuasainya. Namun dengan perjanjian itu pun setiap tahun VOC harus memberikan hadiah kepada Sultan. Diceritakan, Sultan Amangkurat I mengkritik pemberian meraka dan meminta dibawakan hadiah yang lebih baik di tahun berikutnya.


Menanggapi kritik tersebut, pemerintah di Batavia memesan ke Persia kuda-kuda terbesar dan terbaik yang dapat diperoleh untuk dibeli bagi Amangkurat. Permintaan tersebut meningkat setiap tahun, hingga pemerintah Batavia menanggung biaya kira-kira 60.000 gulden untuk hadiah tahun 1652. Sebagai balasan, Pemerintah Batavia menerima beras dan kayu, diserahkan oleh orang-orang dari daerah pantai atas perintah Amangkurat dan jelas menjadi beban berat bagi rakyatnya.


“Segala raja di dunia harus turun tahta


Tanpa kecuali, apa pula yang bernama tirani!”


Begitu tulis Arifin C Noer dalam sajaknya “Segala Raja di Dunia”. Demikian pula Amangkurat. Lari dari keraton yang puluhan tahun dibangunnya karena serangan rakyat yang dipimpin Trunojoyo, Amangkurat I mati dalam pelarian.


Ia lari dalam sakit. Ketika sakitnya memberat, Amangkurat minta sereguk air kelapa. Putra mahkota, Raden Mas Rahmat, menyiapkannya. Goenawan dalam Catatan Pinggir TEMPO edisi 13 Maret 2016 menulis: “Tapi sejenak Baginda menatapnya, “Aku tahu maksudmu, kau ingin mempercepat.”  Ya, Amangkurat mati diracun anaknya sendiri.


Serangkai cerita di atas membuat wajar orang keberatan bila Presiden Jokowi pada 17 Agustus lalu dimaksudkan mengenakan busana Amangkurat I. Bila demikian adanya, jelas Istana harus mencari tahu siapa yang memprakarsai, atau punya ide seperti itu. Untuk dihukum? Mungkin terlalu keras untuk zaman ini. Tapi setidaknya orang itu harus dipaksa agar belajar lagi sejarah, adat istiadat, dan aneka rupa agar “bener” dalam menjalankan tugasnya.


Namun, kalaupun busana itu dimaksudkan sebagai busana Sultan Agung, yang termasuk seorang pahlawan bangsa ini, sejatinya bukan tak ada persoalan. Sultan Agung pun sebenarnya raja yang tak kurang kejam. Kita ambil saja dua contoh agar tak terlampau banyak menceritakan sisi kelam orang yang telah berpulang.


Tatkala Tumenggung Bahureksa dan Pangeran Mandurareja, dua senapati Mataram yang memimpin penyerangan ke Batavia, 1628, gagal, Sultan Agung bukannya menarik mereka pulang untuk istirahat setelah berbulan-bulan perjalanan dan pengepungan. Ia malah memerintahkan pasukan bantuan memenggal kepala keduanya. Juga sekitar 700-an prajurit yang berada di bawah komando kedua senapati itu. “VOC menemukan 744 mayat prajurit Jawa yang tidak dikuburkan, beberapa di antaranya tanpa kepala,” tulis sejarawan dan Indonesianis M.C. Ricklefs dalam “Sejarah Indonesia Modern 1200-2008”.


Kedua, tahukah hukuman mati seperti apa yang dialami para prajurit Sunda, seperti Dipati Ukur dan kelompoknya, yang dianggap memberontak kepada Mataram setelah gagalnya penyerangan Batavia kedua, 1629?  Sementara, Ukur melawan karena tak ingin kegagalannya menyerang Batavia dihadiahi kehilangan kepala.


Mengutip naskah “Sukapura” yang ditulis dalam bahasa Jawa, dalam novel sejarahnya, ”Ukur”, Darmawan Sepriyossa—iya, saya sendiri—menulis bahwa penghukuman Dipati Ukur cs itu terbilang keji.


“Ki Dipati Ukur dikethok, Ki Demang Songgata dibungkus dening duk diobong, Ki Tumenggung Batulayang digodog, Ki Ngabéhi Yudakerti digantung ing lawang, sugriyané kang liwat padha ngiris, nunten pejah. Langkung sapunika: Umbul Malangbong, Umbul Cihaur Mananggel, Umbul Medang Sasigar, Umbul Kahuripan, Umbul Sagarahérang sami dipunrujak kentasa.”


Terjemahannya: “Ki Dipati Ukur dipancung lehernya, Ki Demang Saunggatang dibungkus ijuk kemudian dibakar, Ki Tumenggung Batulayang direbus. Ki Ngabehi Yudakerti digantung di pintu gerbang, setiap orang yang lewat harus mengiris badan si terhukum itu sampai ia mati dalam sakit yang sangat. Selebihnya, Umbul Malangbong, Umbul Cihaur Mananggel, Umbul Medang Sasigar, Umbul Kahuripan, Umbul Sagarahérang, badan mereka ditumbuki alu dalam lisung (lesung)—alat penumbuk padi menjadi beras, sampai meninggal.”


Jika ada yang bilang, tak elok menghukumi kejadian masa itu dengan kebiasaan dan adat, atau bahkan hukum hari ini, jawabannya tak perlu panjang. Hukum dan aturan yang berlaku di masa Mataram Islam, resminya hukum dan tata cara serta aturan Islam. Dan Nabi SAW tak sekali pun mencontohkan penghukuman seperti itu. (*)

Halaman:

Komentar