REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) membuka babak diskursus baru tentang penerapan hukuman mati. Salah satu terobosan yang dibawa KUHP baru tersebut adalah pengaturan baru mengenai pidana mati.
Praktisi hukum senior Todung Mulya Lubis menuturkan, awal mula dirinya menolak hukuman mati di Indonesia dengan mendatangi Wakil Presiden Adam Malik bersama para seniornya Yap Thiam Hien dan sejumlah rekan. Mereka kompak menyampaikan aspirasi menolak hukuman mati kepada wapres pada era Soeharto tersebut.
Todung pun mengeklaim, gerakan Hapus Hukuman Mati (Hati) yang dipeloporinya menjadi kian vokal. "Sikap saya terhadap hukuman mati masih sama, sejak awal menjadi penggiat HAM sampai hari ini. Saya menolak hukuman mati. Dalam kasus apa saja, kepada siapa saja," kata Todung dalam siaran pers di Jakarta, Sabtu (20/5/2023).
Dia menilai, perubahan pidana mati dalam UU Nomor 1 Tahun 2023 merupakan langkah positif dari sejarah panjang Indonesia yang menolak penghapusan pidana mati. "Pasal 100 KUHP Baru ini wujud nyata dari jalan tengah yang mengompromikan pihak yang setuju dan menentang hukuman mati," ucap Todung yang menjadi pemateri 'FGD Kesenjangan Pengaturan Pidana Mati dalam KUHP Baru dengan Status Quo: Masalah dan Urgensi'.
Artikel Terkait
Trump Ucapkan Terima Kasih ke Qatar di Air Force One: Kunci Gencatan Senjata Gaza & Masa Depan Perdamaian
Amandemen UUD 1945: Peluang Masih Terbuka, Tapi Prosesnya Tak Semudah Itu
116 Santri Lirboyo Kediri Dilatih Kementerian PU, Siap Bangun Pesantren
Dedi Mulyadi Bongkar Fakta Sumber Air Aqua: Iklan vs Realita yang Bikin Netizen Geram