Hasil penelitian menunjukkan bahwa paparan tayangan digital pada anak usia satu tahun dapat meningkatkan risiko perilaku sensorik yang tidak sesuai dengan pola umum, terkait dengan rendahnya kemampuan mengenal rangsangan pada usia 33 bulan. Pada usia 1,5 tahun, setiap tambahan jam tayangan digital dapat memicu peningkatan risiko perilaku sensorik yang atipikal sebesar 23 persen. Begitu pula pada anak usia dua tahun, paparan tayangan digital terkait dengan peningkatan risiko perilaku sensorik yang tidak sesuai pola umum sebesar 20 persen.
Implikasi dari penelitian ini mencakup dampak paparan tayangan digital pada berbagai masalah kesehatan anak, seperti masalah perilaku, gangguan tidur, lambatnya kemampuan belajar bahasa, dan potensi terkait dengan autisme atau attention deficit hyperactivity disorder (ADHD). Karen Heffler, profesor rekanan dari Drexel's College of Medicine, menyatakan bahwa pemrosesan sensori atipikal dapat terjadi pada anak-anak dengan gangguan tertentu, seperti autisme dan ADHD.
David Bennett, profesor Drexel's College of Medicine, menyoroti pentingnya pelatihan dan edukasi kepada orangtua untuk mengurangi paparan tayangan digital pada anak di bawah usia dua tahun. Selain itu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merekomendasikan bahwa anak-anak di bawah usia dua tahun sebaiknya tidak menonton tayangan digital, sementara anak-anak di bawah usia lima tahun disarankan untuk memiliki waktu screen time maksimal selama satu jam. WHO juga mendorong orangtua untuk mengajak anak melakukan aktivitas yang mendorong kemampuan sensori, seperti berbicara, membaca dongeng, dan bermain aktivitas fisik dengan durasi tertentu.***
Artikel ini telah lebih dulu tayang di: kabarpalu.net
Artikel Terkait
Ditemukan Pelanggaran, Kemenag Cabut Sertifikat Halal Roti Okko
10 Tahun Pemerintahan Jokowi: Warisan Utang Menggunung, Tak Sebanding dengan Pertumbuhan
Viral Banyak Anak Cuci Darah di RSCM, Ini Penyebab serta Pencegahannya
Hasil Uji BPOM: Roti Okko Mengandung Pengawet Ilegal, Roti Aoka Lolos Uji