GELORA.ME - Pakar hukum tata negara, Prof. Mahfud Md, menegaskan bahwa konstitusi Indonesia sebenarnya sudah lebih dulu mengatur hak-hak sipil dan politik sebelum dunia internasional merumuskannya dalam International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) pada tahun 1966.
Pernyataan itu disampaikan Mahfud MD dalam seminar nasional di Universitas Andalas, Padang, Jumat (26/9/2025).
Menurutnya, Pasal 28 UUD 1945 sudah memuat jaminan kebebasan berpendapat yang kemudian dikenal sebagai salah satu pilar demokrasi modern.
“Pasal 28 UUD 1945 telah mendahului ICCPR yang diberlakukan Maret 1966,” tegas Mahfud di hadapan peserta seminar bertema “Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 105/PUU-XXII/2024: Kebebasan Berpendapat Tanpa Batas, Demokrasi Berkembang atau Anarki Digital.”
Demokrasi Indonesia: Lebih Cepat, tapi Belum Tuntas
Meski menjadi pionir dalam konsep kebebasan berpendapat, Mahfud menilai praktiknya di Indonesia masih jauh dari ideal.
Ia menyinggung masa Orde Baru ketika banyak warga ditangkap karena menyuarakan kritik, media dibredel, hingga penulis dipersekusi karena pandangannya.
“Rumusan kita sudah lebih dulu, tapi implementasi kebebasan berpendapat sering tidak diberikan secara benar,” ujar Mahfud.
Hal ini, lanjutnya, menunjukkan jurang antara teks konstitusi dengan kenyataan politik. Di atas kertas, warga negara dijamin kebebasannya, namun dalam praktiknya, kekuasaan kerap membatasi ruang publik.
Putusan MK dan Pasal Karet
Mahfud juga menyoroti putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 105/PUU-XXII/2024 yang dianggap sebagai tonggak penting dalam menghapus “pasal karet” yang sering menjerat masyarakat.
Menurutnya, tafsir yang lebih tegas dari MK dapat mencegah penyalahgunaan hukum.
“Masih banyak pasal karet yang multitafsir sehingga menimbulkan korban,” jelas mantan Menko Polhukam itu.
Beberapa kasus sempat menjadi sorotan publik, seperti Prita Mulyasari yang digugat karena mengeluhkan pelayanan rumah sakit, Baiq Nuril yang dipidana akibat merekam pelecehan verbal atasannya, hingga polemik antara aktivis Ferry Irwandi dengan TNI.
Semua contoh ini, kata Mahfud, menunjukkan bahaya dari norma hukum yang tidak jelas.
Kebebasan Berpendapat: Demokrasi atau Anarki Digital?
Tema seminar di Universitas Andalas ini juga menyinggung fenomena “anarki digital.”
Mahfud mengingatkan, kebebasan berekspresi memang fundamental, tetapi perlu diimbangi dengan tanggung jawab agar tidak melahirkan ujaran kebencian atau hoaks.
Menurut pengamat politik lokal, persoalan ini makin kompleks di era media sosial.
“Orang bisa dengan mudah menyalurkan opini, tapi juga bisa menebar fitnah. Negara harus hadir tanpa membungkam,” kata dosen hukum tata negara Universitas Andalas, yang turut hadir dalam diskusi.
Publik Menanti Reformasi Hukum yang Konsisten
Masyarakat menilai pernyataan Mahfud Md relevan dengan kondisi hukum Indonesia saat ini.
Di media sosial, sejumlah netizen mendukung pandangannya. “Pasal karet memang harus dihapus, biar rakyat tidak terus jadi korban,” tulis seorang pengguna X.
Namun ada juga suara yang lebih kritis. “Masalahnya bukan cuma pasal karet, tapi keberanian aparat menegakkan hukum secara adil,” ujar pengguna lain.
Diskursus ini memperlihatkan bahwa reformasi hukum belum selesai.
Implementasi kebebasan berpendapat masih menjadi pekerjaan rumah panjang, terutama dalam menghadapi tantangan digital yang bisa membawa demokrasi ke arah konstruktif atau justru destruktif.
Pernyataan Mahfud Md menjadi pengingat bahwa Indonesia memiliki fondasi hukum yang kuat soal hak sipil dan politik, bahkan lebih dulu daripada aturan internasional.
Namun, pekerjaan besar masih menanti: menutup celah pasal karet, menegakkan hukum tanpa diskriminasi, serta memastikan kebebasan berpendapat berjalan sehat di era digital.
Jika hal ini bisa diwujudkan, demokrasi Indonesia tidak hanya menjadi pionir di atas kertas, tapi juga teladan nyata di tingkat global.
Sumber: HukamaNews
Artikel Terkait
Jokowi Tirukan Gerakan Prabowo Hentak Podium saat Pidato di PBB: Sebuah Brand Baru
Kapolri Bentuk Tim Reformasi Polri, Wamensesneg: Yang Utama Bentukan Presiden
Tarif Cukai Rokok Tak Naik pada 2026
Singgung Khalid Basalamah, Anggota Awan PBNU: Pengembalian Uang Tidak Hilangkan Proses Hukum